Lihat ke Halaman Asli

Teguh Hariawan

TERVERIFIKASI

Traveller, Blusuker, Content Writer

Runtuhnya Aji Mumpung, Tumbuhnya Tepa Selira, Harga Pun Stabil

Diperbarui: 30 April 2020   00:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kisah Untuk Ramadan. Sumber ilustrasi: PAXELS

Bagi kaum hawa, harga adalah segalanya. Apalagi belanja dapur. Uang senilai 500 rupiah sangat berarti. Apalagi  jika selisihnya  sampai ribuan. Pastilah ibu-ibu ini akan melenggang mencari harga termurah.  "Eman-eman, bisa buat beli empon-empon dan cabe," begitu alasannya. Ya, masuk akal juga. Apalagi saat ini musim pandemi. Nah, untuk mencari harga termurah, tentunya harus ke pasar. Namun, rumus itu tak berlaku untuk keluarga kami. Bukan sok kaya. Tapi ada pertimbangan lain yang lebih masuk akal. Kami menerapkan prinsip: Tengok Tetangga

Tengok Tetangga

Pasar Tradisional sebenarnya tak jauh dari rumah. Jaraknya tak lebih dari 500 meter. Jalan kaki hanya 10 menit. Tapi, selama ini untuk memenuhi semua kebutuhan dapur, kami jarang ke pasar. Banyak pertimbangannya. Alasan utama adalah  tenggok tetangga. Maksudnya, semua kebutuhan dapur kami penuhi dengan belanja di tetangga. Beli apapun kebutuhan dapur dan rumah, semuanya di tetangga. Maka, ekonomi di kampung pun tetap berputar. Hanya kebutuhan tertentu yang harus beli ke pasar sendiri atau ke supermarket.

Alasan lain tidak ke pasar, ya... karena selama ini saat situasi normal, kami berangkat ke kantor pukul 06.00. Tidak ada waktu lagi ke pasar. Apalagi saat ini musim pandemi. Physical Distancing, jadi alasan kedua tidak ke pasar.   

Kebetulan, di dekat rumah ada 2  toko mracang. Hampir semua kebutuhan warga kampung ada di sana. Mulai bumbu dapur, minyak, gula, beras dan telor. Termasuk bahan bakar. Bahkan, kalau cari cemiti dan jarum jahit pun tersedia. Pokoknya lengkaplah.

Bagaimana dengan kebutuhan bahan mentah sayur dan lauk-pauk ? Tak beda dengan di tempat lain sebenarnya. Ada dua orang di kampung yang profesinya penjual sayur. Di tempat kami namanya Mlijo. Orang pertama namanya Pak Ruslan. Tiap hari, pukul 03,00 dinihari sudah ke pasar. Belanja sayur, tempe, ikan, bumbu dapur dan kebutuhan warga lainnya. 

Jika dirasa cukup, semua semua barang belanjaan ditata rapi di motornya agar tidak rusak. Pukul 05,30 sudah sampai di rumahnya. Istrinya sudah menunggu di depan rumah. Sebuah meja pendek yang panjang. Segera belanjaan ditata rapi di  depan rumahnya. Tak lama para tetangga pun berdatangan dengan sejuta pilihan masing-masing. 

Pak Sukir juga berprofesi hampir sama dengan pak Ruslan. Bedanya, pak Sukir menjajakan dagangannya keliling kampung. Jika di kampung sendiri belum habis akan bergeser ke kampung sebelah dengan motornya. Berkeliling sampai habis kulakannya (belanjaannya).

Dari toko tetangga dan Mlijo (penjual sayur) tetangga inilah, hampir semua kebutuhan dapur rumah kami terpenuhi selama ini. Tidak perlu berbecek-becek di dalam pasar. Tidak perlu bersinggungan dengan orang lain, karena ada himbauan jaga jarak. Bahkan, khusus keluarga saya, cukup pesan kebutuhan barangnya apa lewat Whatsapp. Maka besok pagi sayur mayur dan kebutuhan lainnya sudah nangkring di pagar. Uangnya, sudah kita letakkan di tempat biasanya. Tanpa ada tawar menawar. Tanpa saling menunggu.

Pandemi meruntuhkan Aji Mumpung

Menariknya, ternyata harga jual di toko tetangga dan penjual sayur keliling di kampung  ternyata tidak mahal-mahal amat. Buktinya, banyak warga kampung yang enjoy saja belanja di sana. Bukti kedua, toko dan Mlijo pun masih eksis dengan dagangannya tiap hari. Para pemilik toko dan mlijo mengambil selisih tidak terlalu besar dari harga pasar, ternyata. Penting lumintu (sedikit tapi terus), kata mereka.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline