Akibat kerusuhan dan perang di Batavia (GEGER PECINAN) , mendorong terjadinya pergeseran pemukiman Etnis Cina di Jawa. Beberapa pemukim awal Cina di Pantai Utara Jawa, mulai bergeser ke arah Timur (Jawa Timur). Ke Surabaya, Pasuruan bahkan sampai Banyuwangi. Ikuti artikel awalnya di Menelusuri Jejak Hoakiau di jawa Timur ..
Setelah peristiwa pemberontakan Cina Tahun 1740 di Batavia, Etnis Cina mengalami kontrol yang ketat dari pemerintah VOC. Mereka menerapkan undang-undang yang disebut "wijkenstelsel". Isinya, menempatkan etnis Cina di perkampungan khusus sehingga mudah diawasi oleh pihak penguasa kolonial. Tidak hanya di Batavia. Tapi juga diterapkan di daerah-daerah kekuasaan VOC lainnya.
Perkampungan ini mempunyai pemimpin sendiri, namun tetap harus disetujui pihak penguasa. Pemimpin etnis ini dikenal sebagai opsir yang mempunyai pangkat: major, kapiten dan letnan.
Di Jawa Timur, ada tiga keluarga yang dapat dihubungkan dengan keluarga opsir Tionghoa, yaitu adalah keluarga Han, Tjoa dan The di Surabaya . Keluarga The berasal dari Kapiten The Sing Koo dan Keluarga Tjoa dari Tjoa Kwie Soe . Karena mereka adalah keluarga Cina yang terpandang, kaya dan terkemuka, serta dekat hubungannya dengan penguasa yang dalam waktu ke waktu selalu jadi pemimpin etnis (opsir) yang ada dalam komunitasnya.
Di jaman kolonial ada 3 kelompok masyarakat yaitu, Eropa, Timur Asing dan Pribumi. Etnis Cina termasuk dalam kelompok Timur Asing bersama keturunan Arab dan India. Kapiten adalah jabatan yang prestisius kala itu. Hanya orang-orang kaya, terkemuka dan punya hubungan dengan kompeni yang bisa meraihnya.
Keluarga Han
Keluarga Han, adalah keluarga paling terkemuka di Jawa Timur. Keluarga ini adalah keturunan dari Han Siong (1673-1743) yang lahir dari marga Han pertama yang datang ke Jawa dan mendarat di Semarang serta menetap di Lasem. Tentu saja, awalnya Han Siong adalah orang miskin dan harus bekerja keras untuk menghidupi keluarganya. Dalam kehidupannya, keluarga ini tidak mencapai kesuksesan dalam meraih kekayaan dalam kehidupannya. Akhirnya, keturunan Han Siong pun meninggalkan Lasem menuju daerah lain. Antara lain ke Surabaya dan Pasuruan. Dalam masa selanjutnya, keturunan Han Siong yakni Han Bwee Kong (1727-1778) menjadi kapiten di Surabaya.
Jabatan kapiten adalah jabatan yang prestisius kala itu. Hanya orang-orang kaya, terkemuka dan punya hubungan dengan kompeni yang bisa meraihnya. Han Bwee Kong mempunyai anak 2 yakni Han Tjan Pit dan Han Tik Ko.
Han Tjan Pit (1759-1827) menjadi kapiten Cina di Surabaya, menggantikan ayahnya. Han Tjan Pit juga dikenal sebagai landheer (tuan tanah) yang menguasai tanah-tanah di daerah Besuki dan Panarukan. Di tangan Han Tjan Pit, Besuki dan Panarukan yang sebelumnya miskin jadi daerah subur makmur dan memberi hasil melimpah. Otomatis, makin menambah kekayaan keluarga Han.
Pada masa Daendels, pemerintahannya memerlukan banyak uang. Atas nasehat pejabat pemerintah pada Daendels, maka tanah Probolinggo dijual pada Han Tik Ko (1766-1813) yang saat itu menjadi Kapiten Cina di Pasuruan. Maka di tahun 1811, tanah Probolinggo pun dimiliki oleh Han Tik Ko. Otomatis, keluarga Han ini memiliki kedudukan setingkat Bupati. Tidak saja menjadi tuan tanah, jabatannya naik dari Kapiten menjadi Majoor Cina. Namun dalam perkembangannya, ada peristiwa pemberontakan yang akhirnya menewaskan Han Tik Ko di Probolinggo. Hanya keluarganya saja yang bisa diselamatkan.
Keluarga Tjoa
Berbeda dengan keluarga Han, keluarga Tjoa datang dan menetap di Surabaya sejak tahun 1753. Tjoa pertama yang datang dari daratan Cina adalah Tjoa Kwie Soe. Saat itu Surabaya diperintah oleh 2 bupati: Kasepuhan dan Kanoman, keturunan dari Tumenggung Onggojoyo yang masih kakak beradik. Keduanya sering berperang. Mereka masih punya adik perempuan bernama Njai Roro Kiendjeng.