Lihat ke Halaman Asli

Teguh Hariawan

TERVERIFIKASI

Traveller, Blusuker, Content Writer

Baluran nan Eksotis, Serpihan "Africa van Java"

Diperbarui: 12 Januari 2018   05:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

Siang itu, selepas Ketapang, Banyuwangi, saya dan rekan-rekan melaju di jalur Pantura yang cukup lengang. Menyusuri jalanan dengan view Laut Jawa di sisi kanan jalan. Anginnya sepoi-sepoi. Ombaknya tidak menggelegak. Rencananya, sebelum pulang ke rumah yang berjarak 200 kilometer lagi, kami akan mampir ke Taman Nasional Baluran. 

Kami penasaran. Kok katanya ini adalah Africa Van Java.Ada pula yang menyebut Little Africa. Maka, dengan melaju cepat, tapi tetap waspada, tak sampai 2 jam dari Banyuwangi, kami tiba di Kecamatan Banyuputih, Situbondo. Ini sepertinya perbatasan antara kedua kabupaten di ujung timur pulau Jawa ini. Setelah melewati sebuah tikungan ada sebuah gerbang yang tidak begitu mencolok di kanan jalan. Itulah gerbang Taman Nasional Baluran.

dokpri

dokpri

HUTAN MUSIM

Sesaat setelah memasuki pintu gerbang , yang kami kira kompleks militer, kami diarahkan parkir di depan sebuah teras pendopo kecil oleh seorang petugas. Tempat itu adalah Pusat Informasi sekaligus tempat pembelian tiket. Ada papan data tetang Taman Nasional Baluran beserta objek-objeknya. Setelah urusan tiket dan toilet selesai, kami berlima pun melaju perlahan. Menyusuri jalanan selebar kurang lebih lima meter. 

Fisik jalan adalah bekas aspal yang mengelupas di sana sini. Membelah hutan Baluran yang mulai meranggas. Cuaca sangat panas. Maklum musim kemarau. Pohon-pohon tak begitu rimbun. Semak juga jarang-jarang. Banyak sulur-sulur yang mengering. Kalau sesuai informasi papan data tadi, ini masuk kawasan Hutan Musim. Karena kemarau, tak heran banyak yang mulai meranggas. Nama Baluran, diambil dari nama gunung kecil yang ada di sekitar hutan.

EVERGREEN

Selepas empat kilometer pertama jalan masih bersahabat. Tapi setelahnya, jalan bergelombang-gelombang. Ada yang berlubang-lubang. Kadang harus memilih ke kanan atau ke kiri. Sesekali berpapasan dengan mobil dan motor yang meninggalkan debu beterbangan. Setelah melewati kawasan yang agak meranggas tadi, nampak di depan mulai teduh. Pohon-pohon rimbun berdiri. Semak-semak juga tumbuh subur. 

Nuansanya jadi hijau, segar dan asri. Vegetasi hutannya sedikit berbeda dengan saat pertama masuk tadi. Kali ini, vegetasinya khas hutan tropis. Ternyata kami sampai di kawasan Evergreen Forest. Hutan lebat yang selalu hijau sepanjang tahun. Walaupun musim kemarau sekalipun. Saat sedang memilih jalan untuk dilalui, kami sedikit dikagetkan dengan seekor ayam hutan yang terbang melintas di tengah jalan, yang tiba-tiba muncul dari rerimbunan.

dokpri

dokpri

dokpri

SAVANA BEKOL

Setelah hampir setengah jam bergoyang-goyang, lantaran jalan tidak semakin bagus, kami tiba di kawasan yang semaknya mulai jarang-jarang. Pohon-pohon pun bisa dihitung dengan jari. Makin ke depan, semak semakin hilang. Berganti dengan sebuah padang terbuka, yang terhampar di kanan kiri jalan. Jalanan makin berdebu. Inilah kawasan Savanah Bekol. 

Karena musim kering, padang savanah yang mestinya berumput hijau, hanya menyisakan rumput kering kecoklatan dan tanah hitam kering berdebu serta kerikil. Nampak sekelompok monyet berteduh, berkelompok di bawah naungan pohon kering. Tidak hanya satu kelompok. Banyak kelompok sepanjang jalan. Sambil terus melaju pelan dan menikmati pemandangan, sesekali kami lemparkan cuilan makanan ringan ke kerumunan monyet-monyet liar kurus yang sepertinya perlu tambahan nutrisi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline