Lihat ke Halaman Asli

Teguh Hariawan

TERVERIFIKASI

Traveller, Blusuker, Content Writer

Jelajah Situs Istana Megah "Keraton Ratu Boko" Jogjakarta (I)

Diperbarui: 15 Juni 2017   08:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokumentasi pribadi

Situs ini adalah Istana Raja, bukan candi. Itu kesan pertama saat saya memasuki halaman pertama kompleks kuno di Bukit Boko, Jogjakarta. Sembari menyusuri pelataran, seketika saya sempat membayangkan, kemegahan kompleks istana ini saat masih ditempati keluarga raja. Bisa jadi inilah salah satu kompleks istana megah yang pernah dibangun di tanah Jawa.. Arealnya luas dengan hamparan  rumput hijau segar. Di beberapa titik ada sisa bangunan kuno. 

Bangunan-bangunan itu berbahan batu andesit. Dibangun mengikuti kontur tanah yang bertingkat-tingkat. Pohon-pohon asri tumbuh rimbun di beberapa sudut. Lantaran letaknya di Bukit Boko, tak salah jika kompleks kuno ini berjuluk “Keraton Ratu Boko”.  Keraton artinya Istana.dan Ratu berarti Raja yang terletak di bukit Boko.

Siang, itu selepas dari Candi Prambanan, saya dengan beberapa teman sengaja mencari situs ini. Setelah bertanya sana-sini, saya diarahkan untuk menuju  selatan. Keluar dari kompleks Candi Prambanan, sekitar 500m, sampai di sebuah pertigaan belok kiri. Jalur ini menuju Wonosari. Jalannya mulus. Sedikit berkelak-kelok. Dari Jogjakarta, tempat ini  berjarak sekitar 19 kilometer ke arah timur.

dokumentasi pribadi

Setelah menempuh jarak sekitar 3 Km ada papan penunjuk “Keraton Ratu Boko”. Segera saja kemudi diputar ke kiri, masuki pelataran perbukitan. Tak banyak mobil parkir. Ternyata, tenpat ini kebanyakan digunakan untuk pengunjung dengan rombongan yang menggunakan  kendaraan besar. Tentu saja, setelah turun dari kendaraan, mereka harus jalan kaki menuju lokasi yang dimulai dengan naik tangga. Setelah saya lihat tangga naiknya, hampir saja saya membatalkan mengunjungi situs ini. 

Untungnya petugas parkir memberi tahu ada jalan memutar lewat kampung yang akan menuntun saya sampai di pelataran bukit. Segera tancap gas. Menelusuri petunjuk sang juru parkir. Cari tenpat parkir yang nggak jauh dari situs ini. Hemat energi, pikir saya, lantaran hari itu masih banyak objek yang akan saya datangi.

dokumentasi pribadi

dokumentasi pribadi

dokumentasi pribadi

Begitulah, tak sampai 10 menit, setelah merayap dan meliuk di pinggang bukit, akhirnya sampai juga di tempat parkir. Hari itu, tempat ini penuh dengan motor dan mobil. Setelah urusan tetek bengek diselesaikan, termasuk urusan ke toilet, kami berlima (Ali, Budi, Totok dan Toriza) melangkah ke pintu masuk. Naik beberapa tangga. Di beberapa titik, disiapkan shelter beratap dedaunan yang merambat. Ada beberepa kursi besi disiapkan untuk istirahat barang sejenak. Gazebo-gazebo kecil juga dibangun makin mempercantik pemandangan. Akhirnya, tiba juga di pelataran puncak bukit. 

Kompleks Keraton Ratu Boko  sangat unik. Dibangun di puncak  perbukitan dengan ketinggian antara 110-229 meter dpl. Menempati areal seluas kurang lebih 25Ha. Secara geografis masuk dalam dua dusun dan dua desa. Dusun Dawung Desa Bokoharjo dan Dusun Sumberwatu, Desa Sambirejo. Selain memiliki view yang indah, tinggalan di kompleks istana ini begitu lengkap. Ada gapura, batur, sisa-sisa candi, pendopo, kolam (dan taman sari), dan goa. Tinggalan ini makin memperkuat dugaan bahwa kompleks ini adalah pemukiman raja.

Selain unik, lokasi situs ini punya daya tarik tersendiri. Karena lokasinya berada di dataran tinggi, maka dari sini terlihat pemandangan yang memukau. Di arah utara Candi Prambanan dan Candi Kalasan dengan latar belakang pemandangan Gunung Merapi dengan suasana pedesaan dengan sawah menghijau di sekelilingnya. Selain itu, arah selatan, bila cuaca cerah, di kejauhan samar-samar dapat terlihat Pantai Selatan.

dokumentasi pribadi

dokumentasi pribadi

dokumentasi pribadi

dokumentasi pribadi

SEJARAH

Reruntuhan Keraton Ratu Boko ini ditemukan pertama kali oleh Van Boeckholtz pada tahun 1790.  Hasil penelitian Teguh Asmar dan Bennet Bronson sampai pada kesimpulan, situs ini pernah dihuni dalam 4 fase sejarah. Fase I antara tahun 600-825 M. Sejaman dengan Prasasti Abhayagiri Vihara(berangka tahun 792 M). Prasasti ini dikeluarkan oleh Rakai Panangkaran, menyebutkan bahwa Keraton Ratu Boko Abhaya berarti tidak ada bahaya, Giri berarti bukit/ gunung, vihara berarti asrama/ tempat. Dengan demikian Abhayagiri Viharaberarti asrama/ tempat para bhiksu agama Budha yang terletak di atas bukit yang penuh kedamaian atau vihara tempat para Bhiksu mencari kedamaian, tempat menyepi dan memfokuskan diri pada kehidupan spiritual.

Fase II antara tahun 825-1050M, ditempati penganut Siwa. Namun sekitar tahun 856 M, kompleks ini sudah dihuni penganut Hindu bernama Rakai Walaing Pu Kumbayani. Sedangkan Fase III berlangsung sekitar tahun 1050-1400M  Dilanjutkan Fase IV tahun 1400-1850 dengan kondisi kompleks keraton tidak berpenghuni.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline