[caption id="attachment_256583" align="aligncenter" width="500" caption="Kabut di Candi cetho (dok pribadi)"][/caption]
Hari menjelang sore. Buru-buru turun dari Candi Sukuh. Belok kanan, melaju menyelusuri jalan beraspal kasar. Sepeninggal desa-desa, akhirnya tiba di sebuah kawasan asri. Jalan mendaki. Di kiri terhampar gundukan bukit bertekstur hijau. Segar dipandang mata. Itulah kebun teh Kemuning. Jalan semakin menanjak. Perlu waspada dan ekstra hati.hati. Bahkan, mendekati lokasi, di depan mata tanjakan menjulang. Akhirnya, tak sampai 30 menit, tiba di kawasan Candi Cetho. [caption id="attachment_256584" align="aligncenter" width="500" caption="Kebun teh Kemuning (dok pribadi)"]
[/caption]
Sore itu di Desa Cetho, Kelurahan Gumeng, Kecamatan Jenawi, Karanganyar, cuaca mendung. Awan mau jatuh. Bergegas setelah bayar tiket, kami berempat mulai menaiki teras-teras Candi Cetho. Teras-teras ini memanjang 190 meter ke belakang. Lebarnya 30 meter. Terletak di ketinggian 1496 dari permukaan laut. Di Lereng Barat Gunung Lawu. Melihat struktur bangunannya yang berteras-teras/ berundak-undak mengingatkan pada peninggalan masa akhir Majapahit (abad 14-15) yang kembali menganut konsep jaman Megalithikum. Bahkan bentuk candi induknya tak jauh beda dengan Candi Sukuh. Teras Candi Cetho Secara keseluruhan, ada 13 Teras di Candi Cetho. Ini adalah hasil pemugaran tahun 1975/1976 oleh Sujono Humardani yang merupakan orang kepercayaan pemimpin Orde Baru. Banyak arkeolog yang menganggap bahwa pemugaran ini sangat jauh dari bentuk asli Candi Cetho. Hanya di Teras VII, yang merupakan teras terpenting yang konon masih seperti aslinya. Van der Vlis tercatat sebagai peneliti pertama Candi Cetho di tahun 1842. Kemudian dilanjutkan arkeolog Belanda lainnya seperti W.F Stutterheim, K.C Crucq, dan A.J Bernet Kempers. Riboet Darmosetopo juga pernah melakukan penelitian di kawasan ini.
Teras I -VI Mula-mula harus melewati 35 tangga di teras I.. Lalu 26 anak tangga lagi. Disusul 7 anak tangga. Ada beberapa arca yang berfungsi menjaga tiap-tiap teras. Baru akhirnya tiba di Teras IV. Disini terdapat Gapura Bentar I Candi Cetho. Begitu memasuki pelataran, kanan kiri tamannya asri. Nampak di kejauhan, kabut berarak menyelimuti kawasan candi. Pemandangan yang indah di sore hari. Hmm ..........sambutan alam yang menyejukkan di Candi Cetho. Kaki melangkah menuju teras V. Hanya tersisa reruntuhan gapura kecil. Di Teras VI terdapat sebuah petilasan yang disebut Punden Eyang Krincing Wesi. Konon, Eyang Krincing Wesi adalah leluhur / cikal bakal dari penduduk di kawasan Candi Cetho. Teras VII Teras VII menyisakan tinggalan yang luar biasa sekaligus menunjukkan bahwa Candi Cetho adalah warisan masa Hindu. Di pelataran ini ada ornamen Lingga (phalus/ alat kelamin laki-laki) atau Kalacakra yang luar biasa besar. Ornamen itu dirangkai dengan susunan batu-batu berbentuk segitiga. Kemudian disambung lagi dengan susunan batu dibelakangnya yang berbentuk kontur Burung Garuda yang mengembangkan sayapnya. Di atasnya terdapat arca Kura-kura. Di beberapa sudut juga terdapat Matahari bersinar yng merupakan simbol dari Majapahit: Surya Majapahit. [caption id="attachment_256589" align="aligncenter" width="500" caption="Teras VII dengan relief Garudeya dan Kalacakra serta Surya Majapahit (dok pribadi)"]
[/caption]
Di dalam susunan batu berbentuk segitiga ini terdapat pahatan-pahatan bentuk binatang berupa: 3 ekor Katak, Mimi, Ketam, Seekor Belut dan 3 ekor Kadal. Menurut Bernet Kempers, itu merupakan rangkaian angka tahun yang diterjemahkan menjadi 1373 Saka atau 1451 Masehi. Relief Lingga pada Teras VII mengandung 3 makna Filosofis. Pertama ini merupakan kepercayaan Jawa Kuno yang sudah mentradisi di masyarakat. Kedua, manusia pada dasarnya lahir karena ada pertemuan antara Lingga dan Yoni. Ketiga, simbol ini ada hubungannya dengan kepercayaan. untuk menghalau roh-roh jahat atau makhluk halus yang tak kasat mata. Adanya Lingga/ Kalacakra, menyebabkan Candi Cetho juga disebut Candi Lanang. GARUDEYA Susunan batu menyerupai Burung Garuda tak lain merupakan penggambaran cerita Garudeya. Cerita pencarian Tirta Amerta (air suci/ air kehidupan) Garuda adalah kendaraan Dewa Wisnuyang yang melambangkan dunia atas. Kura-kurayang merupakan titisan Wisnumerupakan simbol dunia bawah. Kura-kura dianggap binatang sakti yang mampu menyelami samudera untuk mendapatkanair kehidupan . Begitulah indahnya relief dan penorama di kawasan Cetho yang berkabut lembut. Candi Cetho sendiri dalam bahasa Jawa artinya JELAS. Dari lokasi ini memang, nampak JELAS ke berbagai arah. Ke arah utara terhampar Kota Karanganyar dan Solo (40km) dengan Gunung Merbabu dan Merapi di kejauhan. Di Barat dan Timur pemandangan hijau indah dipandang. Sedangkan di Selatan, Gunung Lawu berdiri kokoh menyimpan sejuta misteri
Referensi: 1. Ki Renggo Prahono, Candi Caetho, Ssabdo Palon Nagih Janji 2. Wikipedia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H