Tanah Semenanjung dan Gema Di Ufuk Timur adalah dua novel sejarah menarik karya Putu Praba Darana, yang ber-setting Bumi Blambangan. Dari dua novel itulah saya kenal sedikit tentang masalalu Blambangan yang sekarang populer sebagai Banyuwangi. Pernah suatu ketika ke Banyuwangi, namun waktu terbatas, tidak sempat jalan-jalan. Untuk mengusir penasaran akan wajah dan objek wisata terbaru Tanah Semenanjung, maka hari itu, pukul 3 dini hari saya mengajak beberapa rekan meluncur lagi ke Banyuwangi. Ditemani rintik hujan dan jalan basah kami berangkat. Harus berangkat pagi-pagi karena jarak tempuhnya lebih dari 250 Km. Perkiraan, perjalanan memakan waktu minimal 6 jam.
Kota Bangil, Pasuruan, Probolinggo terlewati. Sedikit ngebut karena jalan sepi. Sampai di Klakah belok kiri tidak masuk kota Lumajang. Langsung menuju Klathakan-Randuagung. Berhenti sebentar untuk istirahat di Pompa Bensin Klathakan. Lalu dilanjutkan meluncur menuju Jember. Disambut kabut pagi. Akhirnya, pukul 06 pagi memasuki Alas Gumitir. Memilih menepi. Buka bekal, sarapan pagi di pinggir jalan. Nasi putih, lauk Telor bumbu Bali, Mie Goreng dan Sambel Bajak, ....mak nyus.
Selepas berbenah, perjalanan dilanjutkan. Jalan raya membelah hutan dan kebun kopi. Berkelak-kelok, disertai turunan dan tanjakan. Ciri khas Alas Gumitir. Pemandangan hijau sepanjang jalan. Seiring naiknya mentari, geliat anak manusia mencari rejeki pun dimulai. Di banyak kelokan Alas Gumitir banyak pengais rupiah yang mengadu nasib. Berharap belas kasihan para pengendara yang ikhlas melempar koin atau uang kertasnya.
[caption id="attachment_277914" align="aligncenter" width="500" caption="Pengais Rupiah Alas Gumitir (dok pribadi)"]
[/caption]
[caption id="attachment_277920" align="aligncenter" width="500" caption="Rest Area Gumitir"]
[/caption]
Mendekati ujung hutan, disambut Patung Penari Gandrung. Patungnya baru, karena berbeda dengan patung yang saya lihat dulu. Ini artinya sudah masuk wilayah Banyuwangi. Di bawah jalan raya ini, ada terowongan kereta api jurusan Surabaya - Banyuwangi. Setelah melewati Rest Area Gumitir, masuk Kalibaru, menuju Glenmore. Akhirnya sampai di Genteng, kota kelahiran teman sekantor. Mengingatkan kunjungan berkesan di waktu lampau ke rumah beliau, yang bikin macet jalan kampung, karena Bus dipaksa melewati jalan sempit menuju pelosok Desa Jambewangi, Genteng nan Asri.
[caption id="attachment_277918" align="aligncenter" width="500" caption="Penari Gandrung New (dok pribadi)"]
[/caption]
[caption id="attachment_277919" align="aligncenter" width="500" caption="Penari Gandrung Old (dok pribadi)"]
[/caption]
Pantai Pulau Merah
Tepat pukul 09.00 tiba di tujuan pertama: Pulau Merah. Destinasi baru andalan Banyuwangi. Jalan ke sana agak sempit tapi lumayan mulus. Lokasinya di Desa Sumber Agung, Kecamatan Pesanggaran. Tiket masuk murah. Hanya 2500 per kepala. Parkir bebas.
Kawasan pantai Pulau Merah lumayan bersih. Tempatnya menyatu dengan pemukiman nelayan. Beberapa rumah dan kedai berjajar di kiri jalan menuju pantai. Jalan menuju pantai masih alami. Berupa jalan tanah yang dipadatkan. Entahlah kalau hujan. Mungkin becek. Tempat parkirnya luas dan beberapa sudut sangat teduh.
Pulau Merah merupakan sebutan untuk Pulau (Bukit) kecil yang menyembul di pantai. Tepatnya mungkin karang raksasa. Pantai Pulau Merah segaris dengan Pantai Teluk Pancer, yang terlihat melengkung di ujung kanan. Pulau Merah saat musim hujan ditumbuhi semak menghijau. Saat musim kering, semak meranggas. Dan tanah di Pulau itu nampak berwarna merah. Maka, disebutlah Pulau Merah.
Pantai Pulau Merah memanjang ke Timur dan Barat. Pasirnya putih bersih. Di arah Timur ada Gunung Tumpang Pitu. Konon kaya akan Emas. Ke arah Barat, Pantai Pulau Merah melengkung, dan di ujung sana kira-kira 3 kilometer bersatu dengan Pantai Teluk Pancer. Menghabiskan waktu dengan berlama-lama duduk di pinggir pantai sangat menyegarkan pikiran. Menikmati angin sepoi-sepoi dan alunan ombak yang datang silih berganti. Apalagi ditemani rujak manis khas Blambangan nan legit.
Untuk menambah kesan “merah”, beberapa Kursi Pantai terpasang menyatu dengan Payung berwarna Merah yang menaunginya. Tentu saja untuk duduk atau tiduran, sambil menikmati angin sepoi-sepoi, Anda harus bayar sewanya.Tinggi ombak rata-rata 2 meter. Bergulung-gulung dengan teratur. Dasar pantai cenderung landai dan tak berkarang. Inilah kelebihan Pulau Merah. Nah, Pulau Merah makin eksotis dengan sajian penunggang ombak yang meluncur silih berganti. Sepintas, suasananya mirip Pantai Kuta di Bali.
Pantai Pancer
Sungguh betah di menikmatii keelokan Pantai Pulau Merah. Setelah hampir 3 jam kami di sana waktunya melanjutkan perjalanan mengunjungi Pantai di Teluk Pancer. Keluar dari areal parkir Pantai Pulau Merah langsung belok kiri. Menyusur jalan kampung yang bolong di beberapa titik.
Akhirnya tiba di ujung. Jalan buntu. Ternyata di depan adalah TPI: Tempat Pelelangan Ikan. Makanya baunya sedikit amis. Di kawasan ini para nelayan menambatkan perahu dan menurunkan hasil tangkapannya. Tempatnya masih alami. Nampak deretan perahu nelayan parkir di belakang TPI, menunggu waktu melaut. Tampak beberapa nelayan bersusah payah, mendorong dan menaikkan perahunya ke darat.
Pasir di Teluk Pancer juga putih. pantainya melengkung membentuk cekungan raksasa menyambung dengan Pantai Pulau Merah. Dari tempat ini nampak dikejauhan, Pulau Merah dengan latar belakang Gunung Tumpang Pitu. Karena agak terpencil, tempat ini cenderung sepi. Lumayan nyaman untuk sejenak keluar dari hiruk pikuk dengan menikmati deburan ombak dan duduk di bebatuan.
Kampung Osing
Meninggalkan Pantai pulau merah dan Pancer, kendaraan melaju menyusuri jalan dari Pesanggaran menuju Srono. Sempat meihat ada beberapa nama jalan menuju Songgon. mengingatkan pada benteng-benteng pertahanan pasukan Wong Agung Wilis kala bertempur melawan kompeni Belanda. Tiba di Rogojampi dan Kabat. Mendekati kota Banyuwangi, ada pertigaan arah kiri. Ada petunjuk: Wisata Kampung Osing dan Gunung Ijen. Tanpa perlu bertanya, meluncur mengikuti jalan berkelok-kelok yang makin lama makin menanjak.
[caption id="attachment_277936" align="aligncenter" width="500" caption="Osing (dok pribadi)"]
[/caption]
Tak lama tiba di sebuah pertigaan. Di tengah jalan ada sebuah patung burung raksasa. Ke kiri menuju Gunung Ijen. Lurus ke Kampung Osing. Akhirnya memilih lurus. Menuju Desa Kemiren tempat kampung Osing. Sebenarnya berminat untuk mengunjungi dan bertegur sapa dengan orang Osing. Namun karena waktu, hanya sempat menyususri jalan raya sepanjang Desa Kemiren. Di desa wisata inilah adat dan budaya Osing dijaga kelestariannya. Seperti Wong Agung Wilis mempertahankan kelestarian dan martabat Blambangan dari cengkeraman serdadu-serdadu kompeni.
Watu Dodol
Watu Dodol adalah objek wisata pantai di ujung Utara Banyuwangi. Ditempuh melalui jalur dari kota Banyuwangi menuju arah Situbondo. Berdekatan dengan Pelabuhan Ketapang, tempat menyeberang ke Gilimanuk Bali. Di lokasi Pantai Watu Dodol terdapat dua ciri khas. Patung Penari Gandrung dan sebuah Batu Raksasa yang membelah jalan Banyuwangi- Situbondo. Batunya unik. Bagian atas lebih besar dari bagian bawah yang tertancap di tanah. Tinggi batu kira-kira 6 meter, dipayungi pohon besar disisinya. [caption id="attachment_277937" align="aligncenter" width="300" caption="Watu Dodol membelah jalan (dok pribadi)"]
[/caption]
Pantai Watu Dodol lumayan asri. Tempatnya persis di pinggir jalan besar. Di sekeliling hutan yang hijau. Pantainya sendiri berada agak ke bawah dari pelataran parkir. Ombaknya tenang. Di kejauhan nampak Pulau Bali. Sungguh asyik minum es degan atau ngopi di tempat ini. Legenda Watu Dodol Keberadaan Watu Dodol yang "membelah" jalan raya utama sambungan dari Jalan Raya Pos (De Goote Postweg), menuju Banyuwangi dan Bali banyak melahirkan legenda. Lazimnya, kalau membangun jalan raya, biasanya batu atau bukit yang menghadang disingkirkan atau dihancurkan. Tapi tidak demikian dengan Watu Dodol. Konon, saat pendudukan Jepang, batu ini pernah ditarik puluhan romusha tapi gagal. Ditarik kapal untuk di pindahkan karena mengganggu proses pembangunan jalan juga gagal. Berkali-kali dan berlipat-lipat tenaga dikerahkan tak pernah membuahkan hasil. Akhirnya beredar cerita mistis akan keangkeran dan kekuatan Watu Dodol. Begitu pula pasca kemerdekaan. Saat ada proyek pelebaran jalan, konon batu tersebut berhasil dipindahkan. Tapi, esok harinya sang batu kembali ke posisi semula. Begitu seterusnya. Akhirnya, proyek pun menyerah. Lebih baik membangun jalan disamping Watu Dodol daripada menyingkirkan batu dari tengah jalan. Kenyataannya, sampai sekarang Batu Raksasa itu tetap berdiri di tengah jalan. Menyambut dan melambaikan tangan untuk setiap pengendara yang akan memasuki Banyuwangi dari arah Situbondo.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H