Yaaah, naakk….(sambil menghela napas, si Bapak melanjutkan mentoringnya)….”Apa yang diajarkan Dosen-dosenmu di kampus itu kan sesuatu yang ideal, karena para dosen kebanyakan adalah makhluk akademis yang tidak punya pikiran politik”. Si Anak menyangkal : “Ah masa sih yang namanya para Dosen tidak memahami cara berpolitik, padahal kalo ada PILREK di kampusku dulu rasanya suasana pertarungannya mirip pemilihan kepala desa”.
Sambil tersenyum si Bapak melanjutkan : “Sekarang ini kampus pun sudah di politicking,….coba lihat kasus terakhir politisasi PILREK di Universitas Indah (UI), semua dipolitiking untuk kepentingan pejabat diatasnya, untuk menyongsong mahar politik PILPRES tahun 2014. Dengan demikian, maka para akademisi yang dulunya masih memegang rasa kolegial secara erat, sekarang sudah dipecah belah dan diracuni pikirannya dengan trik trik politik.
Kampus Negeri di Republik Sarimbit sekarang ini direncanakan didesain menjadi Bisnis Unit (Satuan Kerja) Multi Level Marketing (MLM) dari Kementrian Pengajaran dan Pembodohan (KEMENJARDOH), sehingga akan bisa dikendalikan plus memberikan kontribusi : apakah itu dana, “panggung berkicau” bagi capres/tim sukses,maupun dukungan “sekoci” lainnya pada saat pertarungan PILPRES 2014.
Adapun kampus Swasta akan berusaha di akuisisi, plus akan didirikan banyak Universitas Nusantara (UNUS) di seluruh jagad negeri Sarimbit secara crash program. Semua ini ditujukan agar ada banyak tim-tim “sekoci” pada tahun 2014 sebagaimana yang pernah sukses diterapkan oleh Partai Katakan Tidak (PKT).
O’ooo,…….”rupanya kekuasaan dimanapun itu tidak lepas dari syahwat politik ya Pak”. Betul nak, … syahwat kekuasaan tidak mengenal agama, termasuk dari pejabat yang namanya berkonotasi agama. Rupanya kamu sudah mulai paham dengan ilmu politik, timpal si Bapak sambil tersenyum bangga karena anaknya ternyata menurunkan “gen” kecerdasan dirinya.
“Lalu kalau kampus aja sudah terpolitik, bagaimana dengan lulusannya Pak…..apakah mereka tidak akan menjadi lulusan yang makin ganas dan politicking ???”, Tanya si Anak dengan penuh selidik. “Sudah pastilah nak, minimal 5 (lima) tahun mendatang kampus-kampus besar akan melahirkan para oportunis yang semakin buas, karena meniru pendidikan karakter yang dianut para dosen dan guru yang melakukan politicking……dan ini fenomena alam yang disebut dengan “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”.
Waduh Pak, …. Gimana nasib negara kita nantinya ?, tanya si Anak sambil teringat tentang kuliah kebangsaan Bung Karno yang diikuti 3 (bulan) yang lalu. Dengan menghela napas panjang, si Bapak berujar :”Nak….. yang penting dalam hidup ini pikirkan diri sendiri dan keluarga, sedangkan memikirkan bangsa dan negara itu adalah jargon omong kosong politikus”.
Masak sih Pak, ….. masak tidak ada pemimpin yang benar-benar memikirkan rakyat dan amanah terhadap tanggung jawabnya sebagai pemimpin ?, sergah si Anak sedikit berargumen. “Sebenarnya ada nak, ….tapi jumlahnya tidak lebih dari 1 persen, karena “mahar politik” menjadi pemimpin dalam sistem demokrasi sangatlah mahal.
Politik daerah dipengaruhi politik nasional, politik nasional dipengaruhi oleh politik kawasan, dan politik kawasan dipengaruhi oleh politik global yang dikendalikan oleh lobby Yahudi, baik riil Yahudi maupun little Yahudi, melalui kartel-kartel perusahaan multinasional. “Dalam politik global terbukti bangsa kita dalam hal “memilih penjajah” aja tidak cerdas”, lanjut si bapak mencoba sedikit berkelakar…..buktinya, Indonesia memilih Belanda/VOC yang sifatnya memeras sampai abis sumber daya alam kita sebagai penjajah.
Malaysia dan Inggris ternyata lebih “lucky” dengan dijajah Inggris yang masih memikirkan sustainable developmentdaerah jajahannya. Setelah merdeka, kesialan kita berlanjut dengan memilih menjadi pemrakarsa gerakan Non Blok, sedangkan Malaysia memilih masuk ke persekutuan commonwealth.
Waduh, makin pusingg aja saya Pak….tapi saya yakin masih ada beberapa pejabat yang punya darah “merah-putih”. Yaa memang ada….., karena prinsip distribusi normal statistic mengatakan bahwa ada “tail” positip dan “tail’ negatip” yang tergantung ada tingkat kepercayaan dari data.
Beberapa contoh dari mereka yang secara empiris menurut pengalaman Bapak sangat konsisten dan nggak bisa diajak cincai adalah ……. (Bersambung ke PART 4)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H