Kepada terkasih yang selalu memberi lebih dari sekedar romansa perindu cinta,.
Kata-kata adalah perantara rasa jiwa dan makna yang tidak sesungguhnya, namun sayang kata-kata sangat tidak merepresentasikan hakikat ksejatian rasa, ia gagal..ia hanya menandakan, memberi ciri, membantu menunjukan indikasi keberadaan rasa..tapi sangat tidak merujuk kepada substansi wujud otentik yang sesungguhnya. Begitu juga kata-kata dalam essai singkat ini dengan seadanya ku rangkaikan..jauh dari konkrit rasa yg ingin disampaikan, aku hanya mampu menuliskan fenomena yang sedang terasakan, namun tidak noumenanya..karena aku hanya sebatas mendapati aksidensinya tapi bukan eksistensinya, benar-benar rasa ini tak terwakilkan kata-kata serta pribahasa berjuta makna, aku terlalu naif..sedang rasa ini begitu pragmatis, ia mewakil kepada bentuk-bentuk yang tak kumengerti, berwajah multi dan sangat tak biasa...terlalu sederhana jika kubuat selayak puisi 3 jaman dengan rujukan buku-buku sastra murahan, ia cantik mempesona seumpama golden pheasant serta mewah bagai bermahkota dan tahta, sedang aku sangat jelata dan awam, papa lagi bertelanjang..ia juga begitu kuat menggebu-gebu mencoba berontak mendobrak sekat dada namun aku lemah, limbung bagaimana mengatakannya, aku teramat malu dan tersipu menyedihkan...aku merasa sakit tak berkesudahan dengan kegelisahan yang menggerus daging tipis di sela-sela tulang rusuk-ku ketika rasa itu hadir, menggigil tak tertahankan, getir tak terbasuh, kering diam membatu dan kemudian tertawa menggila...biar ia teriak sekuat tenaga memekik dari sudut terdalam hati ini, namun tak sedikitpun aku mampu bersuara barang mendesis, rasa itu selayak tersesat menemukan jalan keluarnya sendiri dalam labirin yang sudah tak jujur lagi seperti dulu..memang sudah tak sejujur dulu.
Yang terkasih, akulah peragu yang selalu dan tak bosan meyakinkan diri, juga pendosa yang tak berputus asa dalam berdoa agar semua menjadi baik..indah memang bukan selalu yang terkatakan, lebih dari itu, aku mengagumimu bagai menenggarai saat bulan muncul malu bertelanjang..melihatmu, jauh melebihi perasaan haru saat kita duduk bersandingan di puncak bromo menunggu detik demi detik pijar fajar merah menguning ke-emasan membelah langit dan menggairahkan dunia di hari ke 31 bulan ke 3, kebanggaanku atas kamu jauh dari sperti menggenggam seisi dunia. Sering laku-ku berbanding terbalik dengan yang ku rasa terhadapmu, itulah sebab lebih banyak ku murung ketika kau berhenti sejenak memandangiku..aku menjadi seorang asperger yang tak pernah bisa benar menyelaraskan perasaan gembira yang gemilang, aku mati berekspresi, sungguhpun aku bergeming berucap malah bukan kata yang seharusnya kukatakan. Aku memang tak pernah bisa gamblang, selalu salah paham dan berselisih dengan keadaan..bergelisah jika tenang, seolah ada yang salah dan memang harus ada yang tidak semestinya, menunggumu beramarah..karena marahmu adalah bagian tersendiri yang selalu kurindukan sekaligus ku khawatirkan untuk tidak bisa lagi kudapati..hanya dengan begitu ku yakin masih ada aku dipikiranmu, namun entah hatimu.
Yang terkasih, jika memang sudah waktunya..biarlah semua menjadi sebagaimana sedia kala seperti sebelum kita saling memulai dan kemudian mempersalahkan, air akan kembali ke hilir, malam akan berganti terang, hujan akan berhenti dan tanah mengering, semua akan meranggas mengulang kembali awal semula..yang kita beri akan kembali diserahkan, apa yang ada perlahan menjadi memudar dan hilang menunggu untuk kembali ditemukan, bukan oleh kita... Yang terkasih, tetap bertutur dengan kata-kata meski tanpa berbicara, tapi biar kemudian rasa yang memberi makna.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H