Sebuah falsafah Jawa yang sering saya dengar, dan juga sering saya sampaikan saat pengajian"menang Tanpo Ngasorake" yang artinya "menang tanpo harus merendahkan lawan". Falsafah ini sangat dalam maknanya, dan sulit sekali menerapkanya dalam konteks berdakwah di negeri Nusanatara.
Islamisasi ala Walisongo telah menemukan ritmenya, dimana dakwah itu tidak harus menguasai parlemen, tetapi membangun budaya yang islami. Kerajaan boleh berganti, tetapi kultur masyarakat tetap harus dijaga. Walisongo tidak perlu mengulingkan raja Majapahit, tetapi menjadikan putra-putri kerajaan Majapahit mengenal Allah SWT dan Rasulullah SAW melalui pendekatan kultural.
Sejak berabad-abad, kekuasaan yang diperoleh dengan perang dan darah, pasti akan runtuh dengan cara yang sama. Umawiyah harus runtuh ditangan Abbasiyah dengan cara yang menyedihkan. Kemudian Abbasiyah runtuh di tangan Jengis Khan Mongolia. Kemudian, muncul kekuatan baru Khilafah Turki Usmaniyah, yang akhirnya runtuh juga melalui orang Turki sendiri.
Raja Spanyol di kuasai oleh Islam, mereka akhirnya runtuh dan porak poranda. Sekian tahun islam berkuasa, kemudian kekuasan itu bisa direbut kembali dengan cara yang menyakitkan. Kerajaan di bumi hanguskan, masjid dirubah menjadi gereja, semua masyarakat yang beragama islam harus memilih, meninggalkan Spanyol atau harus pindah agama, atau harus mati mengenaskan.
Berbeda dengan Islam Nusantara. Walisongo, yang sebagian besar keturunan Rasulullah SAW, menyatu dan membaur dengan masyarakat Nusantara. Mereka menikah dengan masyarakat setempat, juga menguasai bahasa daerah, berbusana daerah, bahkan makan-pun mengikuti masyarakat setempat. Masjid-pun, harus disesuaikan dengan budaya setempat.
Dua wali yang murni keturunan Jawa, yaitu Suna Kalijaga dan Sunan Muria. Keduanya sangat dekat dengan ulama lainnya. Islamisasi tetap jalan melalui pendekatan kulutural, bukan kekuasaan. Kendati demikian, para wali tetap dekat dengan raja dan bangsawan kerajaan. Karena tujuan para wali itu dakwah, bukan berkuasa. Karena dakwah melalui kekuasaan, pasti akan dikalahkan oleh kekuasaan.
Walisongo merupakan teladan yang patut di ikuti di dalam menyampaikan pesan-pesan Al-Quran dan hadis disesuaikan dengan kemampuan intelektual masyarakat setempat. Mereka mampu membumikan Alquran dengan budaya dan seni yang asyik untuk dinikmati. Di tangan para wali, islam menjadi asyik, menarik, dan tetap santui.
Sesuai dengan sebuah makolah yang berbunyi "Balligu Al-Da'wata bi Qudati Uqulihim" artinya sampaikanlah dakwah sesuai dengan kemampuan ke-ilmuan mereka. Dalam ungkapan lain, mengambil ikan tanpa harus keruh airnya. Esensi dakwah itu, mengenalkan Allah dan Rasulullah SAW, bukan menguasai parlemen dan kekuasaan. Ketika sudah mencintai Allah SWT dan Rasul-Nya, mereka akan menerapkan pada keluarga dan masyarakatnya.
Bagi Walisongo itu, yang terpenting bagaimana ajaran islam itu sampai kepada obyek (masyarakat) tanpa harus melukai, menyinggung budaya dan adat istiadat setempat. Tentu saja ini sangatlah sulit, tetapi bukan berarti tidak mungkin untuk dilakukan. Mengenalkan sahadat saja, Sunan Kali Jaga mengemasnya dengan kisah wayang kulit dengan judul "Jamus Kamlimusodo" yang artinya "dua kalimah sahadat".
Walisongo cerdasnya kelewat batas. Dalam bahasa Sufi, mereka sudah samapai pada maqom yang tinggi, mereka lebih suka menggunakan farrasah (intingnya), dari pada logikanya. Mereka lebih kontekstual tanpa meninggalkan tekstual.
Ketika ingin mengenalkan Rasulullah SAW, Sunan Kali Jogo mengenalkan sosok Punto Dewa. Tubuhnya kecil, selalu merunduk, suka memberi makan orang yang kelaparan, memberikan payung kepada yang kepanasan, dan memberikan sandak kepada yang ngodok (jalan tanpa alas kaki), selalu tersenyum kepada sesama. Semua sifat yang melekat pada pribadi Punto Dewa, adalah sifat-sifat Rasulullah SAW. Dakwah kontekstual, model wali songo, sangat asyik dan mengena, sehingga tanpa di sadari masyarakat mengenal dan mencntai Rasulullah SAW.