Lihat ke Halaman Asli

Abdul Adzim Irsad

Mengajar di Universitas Negeri Malang

Buruh Kasar, Intelektual, Politik, Semuanya Buruh....

Diperbarui: 1 Mei 2016   10:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Istilah buruh seringkali disematkan kepada orang-orang yang bekerja kasar (rendahan). Istilah yang lumayan keren ialah “kerah biru (blue collar), walaupun demikan tetap saja "buruh".  Biasanya, ketika mendengar istilah buruh, terbayang pada fikiran, mereka adalah para pekerja pabrik dan industri yang bekerja kasar dengan gaji rendah. Padahal hakekatnya semua orang itu yang bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya itu menjadi buruh, entah itu kerja di perkantoran, rumah sakit, bahkan orang yang duduk manis di di legislative itu menjadi buruhnya rakyat.

Buruh itu orang yang bekerja di pabrik dan industri. Sementera orang yang kerja di perusahaan atau perkantoran dikatakan karyawan. Sementara orang yang kerja menjadi wakil rakyat sebagai politisi. Sedangkan mereka yang bekerja mengajar, baik di kampus maupun sekolah bisa dikatakan "buruh intelektual". Orang yang bekerja untuk mewakili suara rakyat yang setiap bulan digaji oleh rakyat, . Jadi, wakil rakyat itu sama dengan buruh politik.

 Sedangkan orang yang bekerja di rumah sakit itu disebut (dokter, bidan, perawat, apoteker) agak keren. Walaupun hakekatnya semuanya juga mendapatkan gaji dari rumah sakit tempat bekerja. Setiap bulan rumah sakit membayarnya atas kinerja mereka. Dan uang yang digunakan untuk membayar dokter, perawat, bidan, berasal dari duitnya masyarakat yang berobat. Maka, dokter-pun juga buruh kesehatan, tetapi professional.

Terlepas dari berbagai istilah di atas. Yang terpenting ialah, orang yang bekerja untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari harus halal dan tidak merugikan orang lain. Apapun jenis pekerjaan itu. Perkerjaan yang halal itu juga akan mendapatkan gaji yang halal, sekaligus akan memberikan berkah (kebaikan) melimpah, baik terhadap dirinya, maupun kerluarganya. Rejeki (gaji) yang halal akan membawa pada kebahagiaan keluarga, sekaligus akan mengantarkan kebahagiaan menuju ahirat.

Dalam dunia perkerjaan itu, ada dua istilah “jurangan” dan “buruh”. Jurangan itu adalah orang yang meng-gaji buruhnya, baik kasar atau intelektual. Jurangan itu bisa per-orangan maupun institusi. Yang paling penting ialah, antara pekerja dan yang meng-gaji (jurangan) harus saling mengerti hak dan kewajiban masing-masing agar tidak terjadi kesenjangan. Karena masing-masing saling membutuhkan.

Sebuah pabrik tidak akan jalan dengan baik, jika buruh atau karyawan yang bekerja di dalamnya tidak menjalankan fungsinya dengan baik. Pemilik sebuah perusahaan atau pabrik sudah pasti ingin mendapatkan hasil yang sebesar-besarnya (produktif), tanpa harus mengeluarkan biaya yang tinggi (besar). Sebaliknya, setiap buruh pingin kerjanya sedikit (tidak berat), tetapi hasilnya lumayan besar. Jika masing-masing mempertahankan egonya masing-masing, maka perusahaan itu tidak akan berjalan dengan baik.

Ketika buruh banyak menuntut dengan aksi-aksinya (demontrasi), maka juragan sang pemilik perusahaan juga tidak nyaman (terganggu). Begitu juga sebaliknya, ketika perusahaan tidak memberikan gaji yang layak, maka buruh/karyawan akan malas-malasan dalam bekerja. Ujungnya, sama-sama dirugikan.

 Makanya, perusahaan dalam negeri mulai melirik para pekerja asing yang gajinya murah (rendah), tetapi kinerjanya semangat. Sebaliknya, pekerja di dalam negeri tuntutanya sangat tinggi, sehingga tidak sedikit perusahaan yang tidak kuat memberikan gaji sesuai dengan tuntutan para pekerja. Jangan heran, jika suatu ketika perusahaan-perusahaan banyak yang hengkang dari tanah air, karena tidak mampu memenuhi tuntutan buruh yang begitu tinggi. Dengan demikian, pengganguran semakin banyak, dan kesenjangan sosial  semakin tinggi.

Tidak dipungkiri, masih ada perusahaan yang kurang menghargai kinerja buruh, seperti; kurang memperhatikan kesehatan buruh, gajinya rendah, bahkan kadang memperlakukan buruh kurang manusiawi. Seorang buruh dituntut kerja maksimal, tetapi hak dan kewajibanya tidak mendapatkan balasan yang sesuai. Ini merupakan kedhzolimanyang harus diseselesaikan bersama.

Dalam masalah ini, Rosulullah SAW telah memberikan panduan (pakem) yang bijaksana antara pekerja dan pemilik perusahaan (juragan). Rosulullah SAW berkata “Berikanlah pekerja upahnya sebelum keringatnya kering” (HR. Ibnu Majah). Rosulullah SAW mengingatkan kepada pemilik perusahaan agar supaya betul-betul memperhatikan hak orang yang bekerja kepadanya. Islam melarang kedhzoliman sekecil apa-pun. Dalam keterangan lain, Rosulullah SAW “menunda penunaian kewajiban (bagi yang mampu) adalah kedhzoliman” (HR. Al-Bukhari).

Apa yang disampaikan Rosulullah SAW bukanlah teory semata. Karena Rosulullah SAW penah menjadi seorang juragan saat bersama Khodijah ra. Semua tahu, Khodijah itu orang yang paling kaya di Makkah. Karyawanya cukup banyak. Usahanya hingga manca Negara.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline