Lihat ke Halaman Asli

Abdul Adzim Irsad

Mengajar di Universitas Negeri Malang

Sholawatan Khas Ala Nusantara

Diperbarui: 26 Juli 2015   14:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Jauh sebelum Kyai Beling M.H Ainun Nazib mendendangkan shoawatan dengan beragam bahasa dan langgam. Walisongo telah meng-alunkan tembang-tembang dan syair-syari Jawa yang isisnya adalah pesan-pesan Al-Quran dan sunnah Rosulullah SAW.  Sebut saja, tembang Lir Ilir, Gundul-Gundul Pacul, Tombone Ati Iku Lima Wernane, Tembang mocopot, dandang Gulo, Pocong.

Salah satu karya terindah dalam kasustraan Jawa adalah Serat Centhini, sekaligus menjadi satu-satunya  karya sastra tulis Jawa klasik. Orang Islam seringkali melihat sinis terhadap Serta Centini, karena di anggab ke-Jawen. Padahal, dalam Serat Centini juga dikisahkan tentang agama islam yang berkembang oada masa pemerintahan Paku Buwono III-PB VII tentang pertengtangan dua aliran agama Islam.

 Pada Serat Centini juga disebutkan Islam (fikih) dengan rujukan kitab-kitab dari Madhab Syafii, teologi Islam (Ilmu Kalam), juga tareqot-tareqot Qodiriyah. Juga, rujukan kitab-kitab klasik seperti tafsir Jalalain “Tepsir Djalen”, sementara kitab tasawuf Ihya’ Ulumudin disebut “Holomudin”.

Nilai-nilai islam dalam falsafat Jawa begitu melekat, sehingga bisa dikatakan orang Jawa itu sejatinya telah melaksanakan perintah agama dalam kehidupan sehari-hari. Saat ber-interaksi dengan kedua orangtua, orang Jawa telah melakukan “sungkeman” dimana dalam ajaran Al-Quran disebut dengan “Birrul Walidain”. Begitu juga dengan seorang istri harus mencium tangan dan bersujud kepada suaminya saat sungkeman.

Memulyakan tetangga, menjaga lingkungan, itu bagian dari ajaran Islam. Orang Jawa kuno harus menebarkan senyum dan menyapanya ketika berjumpa (bertatap muka)  dengan tetangganya seraya mengucapkan “nuwun sewu”. Itu adalah ajaran Rosulullah SAW, dimana beliau SAW pernah bekata”Afsu Al-Syam” kepada tetangga, tamu, kerabat dan sesama muslim.

Ketika masyarakat awam ingin mengenalkan Nabinya dan para sahabatnya. Para ulama-ulama Jawa (Nusantara) tidak perlu repot-repot mengajarkan tafsir dan hadis kepada masyarakat karena memang kemampuanya sangat terbatas. Para ulama tinggal membuat kemasan yang menarik, mudah, enak, sesuai dengan selera masyarakat waktu itu.

 Dalam tradisi Jawa kita mengenal “terbangan” atau yang lebih populer dengan istilah “hadrah”. Hadrah itu berasal dari bahasa Arab “hadara” yang artinya hadir. Dalam hal ini, hadrah berarti memainkan music rebana dengan membacakan syair-syair yang berisi puji-pujian terhadap ke-agungan budi pekerti Rosulullah SAW sebagai Al-Insan al-Kamil, seolah-olah Rosulullah SAW hadir dalam Maulid Nabi Muhammad SAW. Dengan cara ini masyarakat mengenal dan menicitai Rosulullah SAW, keluarga dan sahabat-sahabatnya.

 Lebih menarik lagi, syair syair dengan longam Jawa itu diiringi alat alat musik hadhrah (terbangan), berisi puji-pujian terhadap Rosulullah SAW. Lebih dari itu, Syair-syair itu mengajak masyarakat mengikuti jejak Rosulullah SAW yang diajarkan dalam islam, seperti; menjaga shalat lima waktu, zakat, berhaji, sholawat, sedekah, bahkan juga diajarkan nilai-nilai asufistik yang bersumber dari kitab Ihya’ Ulumuddin.

 Di Indonesia, M.H Ainun Zazib salah satu dari sekian budayawan yang paling getol membumikan Shlawat dengan beragam langam, mulai Jawa (Bayuwangian) Sunda, Padang, Melayu, Arab, dan Inggris. Dengan cara itu, Nabi SAW semakin populer ke seluruh pelosok nusantara. Inilah cara cerdas membumikan shoawatan kepada semua elemen masyarakat yang bergam budaya, bahasanya. Yang tidak akan pernh bisa dirubah adalah " Sholatullah Salamullah Ala Rosulillah".

 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline