Lihat ke Halaman Asli

Julian Haganah Howay

Journalist and Freelance Writer

Memori Arfak Festival Yang Pertama

Diperbarui: 9 Februari 2016   14:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kepingan kisah perjalanan menembus gunung dan kabut demi Festival Arfak di Anggi, ibukota Pegunungan Arfak. Suatu wilayah nan eksostis, kaya akan keanekaragaman hayati dan keunikan budaya.

PERJALANAN saya kali ini boleh jadi suatu perjalanan spiritual. Saya melewatkan perenungan panjang selama satu jam lebih penerbangan dari Bandara Sentani menuju Bandara Rendani Manokwari, Papua Barat. Beberapa saat selepas pesawat lepas landas dan mengangkasa, permukaan daratan Pulau Papua yang tertutup hutan tropis seketika berubah laksana permadani hijau yang menghampar luas.

Saya duduk termenung di kursi nomor 15 A sisi lorong pesawat. Membayangkan alam Papua nan begitu indah, namun jauh di bawah sana. Saya teringat Danau Sentani dan Pegunungan Cycloop yang menjulang seperti raksasa di dataran wilayah Jayapura yang baru saya tinggalkan.

Saya ingat air terjunnya yang berbuih putih dan sungai-sungai yang bermata air di hutan Cycloop lalu berkumpul membentuk Danau Sentani hingga bermuara ke muara Sungai Tami di sebelah timur Kota Jayapura. Saya juga ingat sungai Mamberamo dengan pola aliran sungai yang berkelok-kelok seperti ular.

Setelah menempuh penerbangan selama satu jam, pilot dan copilot pesawat Boeing 737 Seri 300 milik maskapai penerbangan Sriwijaya Air lalu menurunkan ketinggian jelajah. Awak kabin kemudian memberi informasi agar setiap penumpang wajib mengenakan sabuk pengaman, menegakan sandaran kursi dan tetap duduk di tempat karena beberapa saat lagi pesawat akan mendarat. Saya lega mendengarnya.

Hari itu Kamis 12 November 2015.  Pesawat yang saya tumpangi ini membawa puluhan penumpang sewaktu lepas landas dari Bandara Sentani Jayapura menuju Bandara Rendani Manokwari. Lima belas menit sebelum pesawat mendarat, saya merasa penasaran untuk menoleh ke sisi kanan kiri luar kaca jendela pesawat. Mencoba menangkap pemandangan memukau yang tersuguhkan jauh di bawah badan pesawat.

Di sisi kiri terlihat untaian Pegunungan Arfak dengan puncak-puncak menjulang yang tertutup awan putih. Gunung ini yang akan saya jejaki setelah tiba. Di sisi kanan pun pemandangan tak kalah menarik. Terpampang Teluk Doreri yang di atasnya berlabuh kokoh Pulau Mansinam dan Pulau Lemon. Dua pulau berbentuk oval yang masih tertutup pepohonan dan berpenghuni ini memiliki nilai historis bagi masyarakat Papua.

Khusus Mansinam, pulau ini terkenal karena menjadi situs masuknya dua Misionaris Protestan pertama asal Jerman: Carl Willian Ottow dan Johan Gotlieb Geissler pada 5 Februari 1855 dalam misi ke Tanah Papua. Latar historis pulau inilah yang kemudian melekatkan Kota Manokwari sebagai Kota Injil. Tidak hanya itu, Manokwari pun dikenal sebagai tempat awal dimulainya peradaban modern bagi orang Papua melalui jejak-jejak awal para misionaris Protestan Eropa.

Sekilas dari angkasa, Pulau Mansinam dan Pulau Lemon berlatar laut biru Teluk Doreri yang berkilauan terkena semburan sinar matahari. Beberapa kapal dan perahu nelayan mengapung di atas teluk ini. Lima belas menit pun berlalu. Roda pesawat akhirnya mendarat dengan mulus menyentuh landasan pacu (run way) bandara Rendani Manokwari setelah melayang di angkasa selama satu jam tiga puluh menit. Saya menghela nafas panjang. Bersyukur karena satu lagi misteri kehidupan telah saya lalui dengan selamat.

Pesawat kemudian berputar perlahan lalu berhenti di landasan tempat perhentian. Setelah turun dari tangga pesawat, saya buru-buru meminta seorang penumpang wanita memegang camera dan memotret saya yang berdiri dengan wajah sumringah dilatari pesawat Sriwijaya Air. “Terima kasih, ini sekedar dokumentasi perjalanan,” kata saya kepada wanita itu sehabis memotret dan mengembalikan camera saya.

Menginjakan kaki di bandara Rendani kali ini merupakan pengalaman kedua setelah dua belas tahun saya merantau dari Manokwari dan menetap di Jayapura. Kali pertama tahun 2009 dalam penerbangan transit dari Jayapura menggunakan pesawat Express Air. Waktu itu saya mencoba mengadu nasib ke Jakarta mengikuti seleksi diplomat di Kemenlu RI. Tapi gagal karena mungkin bukan takdir. Kali ini saya menginjakan kaki kembali di bandara yang sama dengan status sebagai wartawan fotografer sekaligus ‘backpacker’ lokal.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline