Lihat ke Halaman Asli

Julian Haganah Howay

Journalist and Freelance Writer

RSUD Dok 2 Jayapura, Riwayatmu Dulu

Diperbarui: 26 Juni 2015   03:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13096418041636990995

"Konon, di jaman Belanda pernah menjadi Rumah Sakit Zending berkelas di kawasan Pasifik Selatan. Sayang, kenangan itu nyaris terlupakan dan tidak tercermin lagi saat ini."

[caption id="attachment_117678" align="alignnone" width="381" caption="RSUD Dok 2 Jayapura yang terletak di Jalan Kesehatan"][/caption] [caption id="attachment_117680" align="alignnone" width="442" caption="RSUD Dok 2 Tempo Dolo ee....(photo:Rafaella Mariane Wajoi)"]

1309644193654237932

[/caption] Selama Belanda menguasai wilayah Netherland Nieuw Guinea (kini Papua), telah dibangun sejumlah rumah sakit dan klinik kesehatan di berbagai tempat. Pembangunan rumah sakit dan klinik itu umumnya dilengkapi fasilitas penunjang dan tenaga medis yang profesional. Untuk wilayah Holandia (sekarang Jayapura) misalnya, Belanda telah membangun sebuah klinik kesehatan di Abepura sekitar awal 1940-an. Hadirnya klinik ini guna memberi pelayanan kesehatan bagi orang-orang Papua dan Belanda (Eropa) di sekitar wilayah Holandia.

Klinik ini awalnya hanya melayani pengobatan malaria dan pasien bersalin. Tapi, dalam perkembangan kemudian, klinik itu berkembang hingga menjadi Holandia Binnen Hospital (kini menjadi RSUD Abepura yang dikelola Pemerintah Provinsi Papua). Setelah beberapa tahun, badan Zending Protestan dan Misi Khatolik Belanda memandang perlu membangun satu rumah sakit misi tersendiri yang kualitasnya jauh lebih baik. Sebab kebutuhan pengobatan terus meningkat saat itu. Akhirnya dirintislah pembangunan rumah sakit Zending di Holandia (kini RSUD Dok 2 Jayapura) pada 1956, selain rumah sakit misi yang sudah ada di Serui.

Waktu itu lokasi tanah yang hendak dipilih untuk pembangunan rumah sakit berada di dua tempat, yakni di Skyland dan Dok 2 Jayapura (lokasi permanen sekarang). Tapi atas pertimbangan temperatur udara dan kondisi lingkungan, maka lokasi Dok 2 dianggap paling cocok. Tanah untuk pembangunan rumah sakit telah dihibahkan masyarakat adat Kayo Pulo. Sebagai gantinya, mereka akan berobat gratis. Proses pembangunan rumah sakit ini dimulai 1956 dan memakan waktu kurang lebih 3 tahun hingga diresmikan pada 1959 oleh Nyonya Gubernul Platell.

Saat peresmian rumah sakit Zending, diundang pula sejumlah tamu yang merupakan utusan medis dari kawasan Pasifik Selatan seperti, Papua New Guinea (PNG),Fiji, Vanuatu, Solomon, dan lain-lain. Seorang dokter spesialis tulang Belanda bernama, George Jacobs de Frice lalu ditunjuk mengepalai rumah sakit ini. Belanda juga membangun perumahan bagi para petugas medis di sekitar area rumah sakit. Kini sebagian besar bangunan rumah itu masih terawat. Tapi sebagian lagi sudah dibongkar sana sini atau direnovasi. Nah, semenjak beroperasi di tahun 1959, rumah sakit Zending itu menjadi sentral pengobatan bagi seluruh wilayah Netherland Nieuw Guinea.

Pemerintah Belanda lewat Badan Misi Protestan dan Khatolik sebelumnya juga telah membangun sejumlah pos pelayanan kesehatan dan klinik di wilayah utara dan selatan Netherland Nieuw Guinea. Pembangunan itu disesuaikan dengan pembagian wilayah pelayanan (misi). Dengan begitu, keberadaan rumah sakit Zending di Holandia sifatnya menjadi rumah sakit rujukan bila sewaktu-waktu ada pasien dari wilayah lain atau pedalaman yang membutuhkan pengobatan lanjutan.Dengan fasilitas medis yang lengkap dan dukungan para dokter spesialis Belanda yang profesional, rumah sakit Zending memperoleh status sebagai rumah sakit paling terbaik (berkelas) di kawasan Pasifik Selatan.

Sebab di rumah sakit ini hanya terdapat 4 dokter umum, selebihnya merupakan dokter spesialis. Adolf Rumkabu (75 thn), seorang mantri Papua didikan Belanda yang pernah bertugas di unit pasteur menjadi saksi sejarah atas masa kejayaan rumah sakit ini. Ia menuturkan, pada setiap unit rumah sakit Zending memiliki sekitar 2 hingga 3 dokter ahli. Mereka dibantu 20-an suster Belanda, dua dari mereka adalah suster Papua dan Ambon. Selain itu, pelayanan di rumah sakit ini pun dibantu para perawat Papua yang menjalani pendidikan di rumah sakit. Karena sejak berdiri, rumah sakit Zending juga difungsikan sebagai tempat pendidikan bagi generasi Papua yang ingin menjadi perawat atau mantri.

Semua kebutuhan obat dan peralatan medis didatangkan dari Negeri Belanda (Netherland). Dengan status ganda sebagai rumah sakit rujukan dan pendidikan, disinilah tempat sejumlahsiswa-siswi Papua dari berbagai wilayah direkrut untuk menjalani pendidikan medis. Adolof Rumkabu bersama beberapa temannya merupakan angkatan pertama yang mengikuti pendidikan dan praktek di rumah sakit Zending. Semenjak ditangani orang-orang Belanda, rumah sakit ini menerapkan prinsip pelayanan maksimal. “Kalau ada pasien karena kecelakaan,suster dan dokter akan berusaha keras selama 24 jam agar pasien itu tidak sampai meninggal,” kata Rumkabu.

Belum lagi jika ada pasien yang menderita TBC paru, petugas medis akan berupaya maksimal agar pasien yang bersangkutan bisa sembuh total. Semua kebutuhan obat bagi pasien disediakan langsung dari rumah sakit. Bila ada pasien kusta (leprosi), ia akan dirujuk ke rumah sakit lepra yang telah dibangun Belanda di kilometer 12 Sorong atau rumah sakit lepra di Mopah Merauke dan Manggurai. Pasien kusta memang mendapatkan perlakuan dan pengobatan istimewa dibanding pasien lain di jaman Belanda. Yang menarik menurutnya, dalam pelayanan kesehatan diberlakukan pengobatan gratis kepada pasien tidak mampu.

Kalau ada pasien rujukan dari wilayah pedalaman, setelah sembuh diobati pasien akan dipulangkan kembali atas tanggungan Pemerintah Belanda melalui rumah sakit. Rumkabu masih ingat persis, saat itu hampir tidak ada pasien yang mengeluh selama masa pengobatan. Itu karena manajemen rumah sakit dikendalikan dengan baik dan tersistem. Pada ruang jaga dari rumah sakit ini terdapat sebuah telpon. Ini difungsikan 24 jam bagi pasien di luar rumah sakit yang membutuhkan penanganan segera dari petugas medis yang setiap harinya bersiaga. Tidak ada diskriminasi antara pasien orang Papua dan orang Belanda.

Demikian pula pelayanan kesehatan diberlakukan setara. Tidak membedakan masyarakat biasa, pejabat pemerintah, tokoh masyarakat, pemimpin gereja, biarawan khatolik, pastor hingga anggota militer. Dengan begitu status sosial dan kedudukan tidak menentukan prioritas perlakuan bagi seorang pasien. Dalam menangani pasien yang datang berobat saja, petugas medis akan mendahulukan pasien yang membutuhkan penanganan segera. Bukan hanya itu, rumah sakit juga memberlakukan disiplin kerja yang tinggi dan pengawasan kepada setiap perawat dan dokter yang bekerja. “Saya masih ingat, waktu itu hampir tidak ada pasien yang terbengkalai pengobatannya,” kata mantri yang pernah berkerja di beberapa bagian rumah sakit ini.

Tidak hanya itu, keindahan dan kebersihan lingkungan rumah sakit juga ditata sedemikian rupa. Urusan lingkungan seperti pemeliharaan taman dan pepohonan, dikoordinir langsung seorang insinyur Belanda yang memiliki keahlian itu. Inilah salah satu aspek penting dari pembangunan rumah sakit ini. Pemandangan sekitar rumah sakit juga terlihat sangat menyejukan, asri dan alami. Sebab saat itu area sekitar wilayah Dok II masih tertutup hutan lebat yang dipenuhi pepohonan rimbun. Alias tidak seperti sekarang, dimana hutan telah dibabat dan kini yang terlihat adalah pemukiman padat dan sumpek.

Selama rumah sakit Zending berdiri, ada beberapa perawat Papua yang dikirim untuk menperdalam ilmu medis di Fiji dan beberapa wilayah Pasifik Selatan. Setelah selesai, mereka ditempatkan di sejumlah unit rumah sakit atau menjadi asisten dokter ahli yang semuanya orang Belanda.Yang sangat berkesan, para perawat Papua yang dididik pada jaman itu lebih ditekankan memiliki jiwa melayani pasien dan disiplin kerja tinggi. “Waktu itu pelayanan yang lebih diutamakan, kalau soal hak berupa gaji atau insentif untuk perawat atau dokter itu urusan belakangan,” kata Adolf Rumkabu.

Memang para perawat dan dokter saat itu lebih dituntut untuk mampu melayani pasien sebaik mungkin. Lantaran urusan kesehatan dianggap begitu penting. Semenjak beroperasi, rumah sakit Zending juga turut mengobati para serdadu Belanda dan Indonesia yang menjadi korban perang dalam sengketa perebutan wilayah Papua. Misalnya para korban akibat pertempuaran di laut Aru. Ketika itu armada kapal perang Belanda dan Indonesia bernama KRI Macam Tutul terlibat bentrok sengit sehingga menewaskan Komodor Yos Sudarso pada 15 Januari 1962 silam.

Para serdadu yang terluka berat sebagian besar dirawat di rumah sakit ini. Selepas perseteruan antara Belanda dan Indonesia soal status wilayah Papua, rumah sakit Zending diambil alih PBB pada 1963. Pengambil alihan itu seiring penyerahan status pemerintahan sementara oleh Belanda kepada PBB, yakni UNTEA(United Nations Temporary Executive Autority) sebelum nantinya diserahkan kepada Indonesia pada 1 Mei 1963. Setelah Indonesia menduduki Tanah Papua, dr. Gunawan ditunjuk mengepalai rumah sakit peninggalan Belanda ini.Ia menjadi pengganti dr. George Jacobs de Frice, dokter Belanda yang pertama dan terakhir mengepalai rumah sakit Zending yang hanya sempat beroperasi selama 4 tahun di jaman Belanda ini.

Berkenaan dengan itu, status rumah sakit dialihkan menjadi rumah sakit daerah Irian Barat yang di kelola Pemerintah Indonesia. Setelah dr. Gunawan mengepalai rumah sakit ini selama beberapa tahun, dr. Sambiono ditunjuk mengantikannya untuk beberapa tahun kemudian hingga digantikan dr. Tamrin. Karena sudah lama, Bapa Adolf Rumkabu tidak ingat tahun berapa proses penggantian para direktur rumah sakit itu terjadi. Tapi ia ingat persis, sejak dr. Tamrin menjabat direktur rumah sakit sekitar 1970-an, pada masa itulah kualitas pelayanan di rumah sakit tersebut menjadi semakin menurun. Lebih-lebih sejak masa awal peralihan penguasaan wilayah Papua dari Belanda ke Indonesia, Banyak fasilitas rumah sakit berupa alat-alat medis peninggalan Belanda yang rusak atau dibawa ke tanah Jawa.

Bukan hanya itu, beberapa tahun kemudian banyak bangunan lama rumah sakit seperti, ruang bedah dan ruang bersalin dibongkar sana sini untuk keperluan renovasi. Padahal, menurut Adolf Rumkabu, ruang itu dari sisi letak dan konstruksi bangunannya sudah sangat bagus. Sebagai salah satu mantri Belanda yang pertama kali bertugas di rumah sakit Zending, ia pernah mengusulkan ke Pemerintah Indonesia agar rumah sakit itu dijadikan rumah sakit sejarah. “Saya punya alasan karena waktu itu banyak pejuang Indonesia yang diobati di sini,” kata dia. Sayang, usulan itu tak pernah direspon Pemerintah hingga saat ini. (Julian Howay)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline