"Mbak Tari, sini!" seseorang melambai saat aku hendak keluar ruangan.
Saat itu kami sama-sama menghadiri perhelatan sastra. Dan aslinya kami saling mengenal, namun tak pernah berbincang sebelumnya.
Obrolan dibuka santai, membahas ini itu, si ini si itu. Kemudian sampailah pada pokok pembahasan. Mbak yang usianya sekira lima tahun di atasku itu mengajak aku bergabung dengan organisasi yang ia ketuai.
Organisasi atau komunitas ya? Aku lupa apakah mereka punya AD/ART dan sebagainya hingga bisa disebut organisasi. Yang jelas saat itu muncul setitik keraguan. Sebab itu kali pertama aku berinteraksi dengannya, dan ketika kutanyakan satu nama untuk juga diajak bergabung, dia bilang sudah ditawarkan namun yang bersangkutan menolak.
Orang yang menolak ini, punya banyak kesamaan denganku. Kecuali agama, suku, dan pilihan politik. Itu bukan alasan untuk tidak akrab kan. Setidaknya ketika membahas dunia literasi di kota kecil kami, maupun di Indonesia, kami kerap sepemahaman.
Anggaplah namanya Feb, sedangkan yang mengajakku berbincang adalah Mar. Seringnya dalam penjurian naskah, aku dan Kak Feb bertemu dalam satu meja. Aku tau, dalam banyak kegiatan literasi, Kak Feb sangat aktif. Untuk yang sungguh-sungguh, ia jarang menolak jika diminta bergabung. Dan Kak Feb ini, lebih dulu mengenal Mbak Mar. Lebih banyak berinteraksi sebelumnya.
Meski penasaran kenapa Kak Feb menolak ajakan Mbak Mar, tapi kuterima juga tawaran perempuan modis itu. Cuma karena satu alasan; tak enak hati menolak.
Baca juga: Kenapa Spongebob Berwarna Kuning?
Dicoba Saja Dulu!
Tak jauh dari hari bertemunya aku dengan Mbak Mar, sebuah kegiatan mempertemukanku dengan Kak Feb. Langsung kutanya perkara tawaran Mbak Mar pada kami.
"Oh, aku dak cocok dengan dio," kata Kak Feb.