Selamat Hari Bidan Internasional! Tapi aku memberi kado yang agak pahit untuk para bidan yang membaca artikel ini. Anggaplah ini semata prasangka buruk yang tidak mendasar, namun tetap harus menjadi pelajaran bagi kita semua.
Dua bulan setelah menikah di 2009, akhirnya kabar gembira menghampiri rumah tangga kami. Meski dilanjutkan dengan drama mabuk di trimester awal, tetap saja semua itu membahagiakan. Melihat kakak-kakak yang gampang melahirkan bahkan hanya jalan kaki ke rumah bidan tetangga, kupikir aku bakal punya nasib yang sama.
Selama kehamilan pertama itu, konsultasi kulakukan tiap bulan di bidan. Per tiga bulan USG ke rumah sakit. Rasanya semua sudah dipersiapkan dengan sangat matang. Kami memilih bidan terbaik, berdasarkan pengalaman kakak dan beberapa kenalan. Ditambah klinik yang juga lengkap dan nyaman.
Opsi kedua yang tadinya kupikir hanya untuk konsultasi, adalah dokter kandungan di sebuah rumah sakit Islam. Bidan dan dokter ini sama-sama senior dan saling mengenal. Jadi jika konsul dengan yang ini, selalu matching dengan info dari sana.
Baca juga: Kapan Istri Halal Meminta Cerai?
Pecah Ketuban Tanpa Bantuan Bidan
Sebagaimana umumnya orang yang tengah hamil tua, aku membiasakan berjalan kaki di pagi hari agar persalinan jadi lebih mudah. Pagi di bulan September, sesuatu seperti "menetas" di perutku. Lalu terasa ada yang rembes, tapi tidak ada kontraksi, dan rembesan itu tidak berwarna sama sekali.
Pagi itu juga aku dan suami mendatangi bidan langganan. Nahas, ketika kami memasuki lorong, sang bidan tepat dalam perjalanan keluar. Ia hendak ke Bandung mengurusi kuliah anaknya.
Apesnya lagi, tidak ada bidan yang jaga. Bidan pengganti baru akan datang malam hari. Jadi kami putuskan pulang, melanjutkan aktivitas seperti biasa. Aku masih mengerjakan pesanan cetak piagam dan suami tetap masuk kerja.
Sempat kukirim SMS ke seorang teman yang berprofesi sebagai perawat, tentang cairan yang tak henti keluar. Menurutnya, itu adalah ketuban. Ia menyarankan agar aku bersiap melahirkan dan kembali ke klinik.
Karena tidak merasakan sakit sedikit pun, dan di klinik pun tak ada bidan. Jadi saran itu kuabaikan. Apalagi sudah sejak pekan lalu terjadi bukaan satu tapi tak ada kontraksi sama sekali.
Menjelang siang, ia menanyakan keadaanku. Kukatakan bahwa aku masih di rumah. Temanku berkeras agar aku mencari bidan lagi jika bidan langganan tak ada. Okelah, temanku ini memang sangat perhatian sejak dulu. Ketika malariaku tak kunjung sembuh, ia juga yang sibuk mengurusi.