"Bilang ke D, keponakannya sudah dua bulan belum bayar arisan. Mau ditagih, tagih ke mana. Alamat barunya pun kami tak tau."
Si D kemudian menelepon keponakannya yang lain, "Bayarlah arisan adikmu, malu. Di kampung itu dia pergi ninggalin utang."
Akhirnya keponakan D datang ke tempat itu, membayarkan utang adiknya. Utangnya tak banyak, tapi malunya segunung.
Itu salah satu kisah yang menguatkanku untuk malas bergabung arisan kampung. Entah RT, pengajian, atau komunitas apa pun. Sebagian orang menganggap itu ciri orang tak mau bergaul, aku sih tak mau banyak alasan. Kalau itu ukuran baik/tidaknya seorang warga, ya sudahlah.
Ketika masih bekerja, ada pula arisan antarkaryawan. Tujuh tahun aku di sana, tak pernah sekalipun aku ikut arisan. Mau dibilang gak gaul? Dari urusan uang, utang, sampai HP hang, entah milik sesama karyawan, sampai milik bos, aku yang tangani.
Jadi pertimbangkan kembali untuk menyimpulkan seseorang tidak mau bergaul, hanya karena ia tak ikut arisan.
Baca juga: Pulau Seharga Rumah
Faktor berikutnya barangkali karena aku malas berutang. Membayar arisan rasanya mirip dengan membayar angsuran. Aku tipikal penabung, bukan pengangsur. Walau yang ditabung tak juga membukit, tapi itu lebih menenangkan ketimbang uang belum di tangan tapi bon sudah di depan mata.
Terima di awal, di bulan-bulan akhir terasa lelahnya. Terima di akhir, harap-harap cemas jika ada yang tak membayar. Kasus di awal artikel ini bukan satu-satunya yang pernah kulihat. Masih ada kasus lain yang bahkan kualami sendiri, meski tidak secara langsung.
Bahkan sebelum kita berpisah rumah dari orang tua, atau belum menikah, tawaran untuk ikut arisan sudah datang dari koordinator kampung (apa istilah tepatnya?)
Mamakku tak suka berutang, tapi suka ikut arisan. Alasannya arisan sama dengan menabung. Jadi bukan satu dua akun (pasti bukan ini istilahnya) yang Mamak punya. Untuk satu kelompok arisan, Mamak punya hingga tiga. Biasanya satu atau dua dipakaikan namaku.