Di salah satu komunitas menulis yang aku ikut tergabung di dalamnya, ada seorang anggota yang kritisnya luar biasa. Saking kritisnya, ia jadi jagoan debat.
Awalnya aku termasuk yang selalu berseberangan dengannya. Lebih tepatnya, ia suka berbeda sehingga memilih mendebat apa pun yang disarankan oleh siapa pun dalam rapat komunitas. Bahkan sampai hal yang awalnya ia setujui.
Yang terakhir itu, berdasarkan pengakuannya sendiri , setelah sekian banyak perdebatan yang memakan waktu sia-sia.
Untuk selanjutnya aku memilih mengabaikannya. Pada beberapa hal yang masuk dalam kewenanganku, kulanjutkan apa yang menjadi kebijakanku. Meski ia bolak-balik protes, karena apa pun memang diprotesnya.
Anggaplah namanya Ron. Sebenarnya, aku sudah mulai punya prasangka buruk pada saat pertama kali mengedit naskahnya. Ron marah ketikannya diubah, meski jelas tak mengubah makna yang ia maksudkan.
"Jangan ubah satu titik pun!" tegasnya.
Baca juga: Review Novel Tentang Rasisme
Memang, naskahnya minim saltik. Tapi admin PUEBI daring bisa nangis melihat tiap baris kalimatnya. Meski komunitas menulis, para penulis yang ada di dalamnya tidak semua menggunakan EBI sesuai KBBI.
Tapi ya nggak meleset-meleset amat! Misalnya kata "nggak" yang barusan kuketik. Di KBBI, yang ada adalah "enggak".
Biasanya aku menulis nggak. Menyadari KBBI memuat enggak, aku pun ikut. Tapi rasanya kurang sreg, maka di blog kutulis nggak.
Ketika di Kompasiana, dalam sebuah artikel kutulis kata enggak, karena mengira admin patuh PUEBI. Ternyata justru diubah menjadi nggak, ketika naik sebagai Artikel Utama.