Lagi-lagi suami mencolek di medsos, kali ini tentang seorang warganet yang membagikan pengalamannya menjadi anak tiri.
Tak seperti cerita umumnya tentang perceraian yang menghasilkan anak broken home, warganet ini justru membagikan kisah orangtuanya yang happy ending.
Ayah dan ibu kandungnya sama-sama orang baik. Hanya masalah "remeh" yang membuat mereka bercerai. Yakni ayahnya yang mempertahankan sifat umum laki-laki, semaunya.
Perceraian mereka awalnya ditentang oleh banyak pihak, tapi di kemudian hari didapatlah hikmah (setidaknya) oleh anak mereka, warganet tersebut, bahwa cerai tak selamanya buruk.
Ibunya justru lebih bahagia dengan suami keduanya. Sedangkan si warganet sendiri, sebagai anak tiri, tak mendapati hal buruk dari ayah tirinya. Meski secara fisik ayah kandungnya lebih unggul, nyatanya warganet ini mendapati ibunya lebih nyaman dengan ayah tirinya.
Aku jadi teringat tausiah yang kerap seliweran di medsos maupun aplikasi chatting. Salah satu yang tak kusetujui adalah pemakluman-pemakluman yang salah alamat. Ada benarnya perempuan harus maklum pada keteledoran laki-laki, begitu pula para bapak kudu mengerti betapa menye-menyenya perempuan.
Tapi maklum saja tak cukup. Be your self itu kalau kamu hidup sendirian dari bangun tidur sampai tidur lagi. Pertimbangkan juga perasaan dan pikiran orang di sekitarmu, terutama pasangan.
Eh, ini lagi ngomongin diri sendiri ya.
Dari apa yang kurasakan sendiri, pada akhirnya ketika banyak adik yang kurang kerjaan nanya ini itu tentang pernikahan, kusarankan dua hal.
Pertama, banyak baca buku psikologi sebelum menikah. Psikologi pernikahan, psikologi laki-perempuan, dst. Kedua, olehku sendiri, kupilah ustaz/ustazah berdasarkan kecenderungan mereka. Ustaz A tausiah maupun ceramahnya cocok disimak para suami.