Lihat ke Halaman Asli

Syarifah Lestari

TERVERIFIKASI

www.iluvtari.com

Ternyata Kelewat Pintar Itu Tak Selalu Bagus!

Diperbarui: 18 Juni 2020   09:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

brightside.me

Kakakku seorang guru. Tahun 90-an dulu, ia punya prinsip, biarlah siswa ribut, yang penting mengerti. Ini mirip dengan ide yang dimunculkan beberapa film dan sinetron pada masa itu. Tak apa berandalan, yang penting di sekolah nilainya tinggi.

Sering kusampaikan pada sulungku, "Bagi seorang adik, kakaknya adalah idola. Apa yang kakak buat, dia meniru."

Kelak dewasa, mungkin dia akan menjawab, "Apa yang orangtua lakukan, ditiru anaknya. Dari yang sulung sampai yang bungsu."

Maka di masa kecil itu, aku mengadopsi prinsip kakakku dalam versi siswa. Terserah patuh aturan atau tidak, yang penting aku nyambung dengan pelajaran yang disampaikan. Untungnya guru zaman dulu galak-galak.

Jadi yang kutakutkan dari guru adalah ketika mereka marah. Jika tak marah ya suka-suka aja. Apalagi fakta seperti membenarkan ucapan kakakku. Biarpun suka ribut, kalau nilai latihan, ulangan, dan ujian tinggi, guru enggan memarahi kita.

Sampai kemudian ketika aku dewasa, di salah satu SD kulihat anak-anak yang nilai rapornya baik menganiaya teman mereka yang agak terbelakang. Di situ aku yakin, pintar saja tidak cukup.

Anak-anak itu baru saja mempelajari kemampuan materi tertentu menyerap air. Mereka lalu mempraktikkannya dengan meletakkan ujung tisu ke air panas. Lalu air panas yang terserap diteteskan ke kulit temannya.

Tiga orang memegangi korban, satu sisanya menetesi tangan dan kaki korban sambil terbahak-bahak. Korban yang seorang ABK menangis meraung-raung, tapi empati mereka tak hadir.

Ketika hasil tes psikologi keluar, kebanyakan siswa tersebut ternyata memiliki IQ (Intelligence Quotient) tinggi, tapi EQ (Emotional Quotient) sangat rendah. Terakhir kulihat di sekolah itu juga sedang digalakkan SQ (Spiritual Quotient) untuk seluruh siswa hingga ke orangtua mereka.

EQ tidak hanya terkait empati maupun simpati, tapi lebih ke manajemen diri. Bahkan sejak lebih dari seabad lalu, orang dengan IQ sangat tinggi hingga ke level jenius sudah ada. Tapi IQ tinggi tak selalu berarti baik.

Tahun 1898, lahir seorang bayi laki-laki di New York City, yang kemudian diberi nama William James Sidis. Ayahnya seorang psikolog jebolan Harvard.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline