Membaca artikel salah satu Kompasianer yang membahas tentang centang biru, aku tergelitik juga untuk menulis tentang tanda spesial itu. Konon, bagi sebagian Kompasianer, centang biru tidak ada istimewanya.
Kalau anggapan itu karena faktor kualitas tulisan, aku pun mengakui. Karena tulisanku ya begini saja, nothing special. Tapi aku sangat berterima kasih kepada admin yang memberi tanda itu di samping namaku.
Kutunggu beberapa hari, khawatir ada kesalahan sistem. Sebab meski sudah bergabung sejak 2011, aku baru aktif menulis di Kompasiana sekira Oktober 2019. Views sedikit, vote tak seberapa. Pokoknya menulis sajalah.
Karena centang itu tak kembali ke hijau, akhirnya aku yakin memang akunku dianggap layak. Entah apa pertimbangannya, bukan urusanku kan.
Tapi kekeliruanku selama ini akhirnya terinsafi setelah "pengakuan" itu kudapat. Kupikir, setiap akun biru secara otomatis artikelnya akan mendapat label "pilihan" dan direkomendasikan oleh sistem. Ternyata tidak.
Artikel dari Centang Biru Tak Selamanya Pilihan
Saking gembira melihat berita Aceh yang nihil kasus Corona sejak 22 Mei 2020, aku pun membuat tulisan mengenai upaya pemerintah dan warga setempat.
Sayangnya, aku menulis hanya berdasarkan satu sumber berita saja. Yang mana dalam berita tersebut, pejabat berwenang mengatakan bahwa sebab kesuksesan mereka adalah masyarakat Aceh yang sangat patuh.
Maksud hati hendak menginspirasi, maka kutulislah artikel agar pembaca bisa turut membuktikan, bahwa kepatuhan kita tak akan sia-sia.
Ternyata klaim tersebut tak sepenuhnya benar. Begitu artikelku tayang, awalnya label pilihan memang sepertinya otomatis menempel. Tapi belum sempat aku membagikan ke medsos, tahu-tahu label itu hilang.
Aku yakin pasti ada yang keliru dengan tulisan tersebut sehingga admin memutuskan tidak merekomendasikannya. Kubaca baik-baik, kucek lagi artikel itu. Di mana letak kelirunya? Jawabannya kudapatkan dari video Kompas TV yang otomatis muncul di halaman artikel, (mungkin) berdasarkan label.