Karena sering menahan pipis saat di perjalanan, suamiku menderita kencing batu. Jika sedang di rumah, ia bisa sampai satu jam di kamar mandi. Jongkok selama itu demi menuntaskan semua yang ada di kemihnya.
Ada kalanya, suami berteriak kesakitan. Ia mengeluhkan nyeri di perut, panggul, sampai kelamin. Bahkan pernah suatu malam aku kehilangan dia. Ketika ditelepon, ternyata sudah sampai di rumah sakit.
Pernah hanya sampai IGD, pernah pula dirawat beberapa hari. Pulang dioleh-olehi banyak obat dan wejangan agar lebih banyak minum air putih.
Suamiku patuh. Ia lebih banyak minum air putih, tak pernah lagi minum minuman dingin yang aneh-aneh dari showcase di pinggir-pinggir jalan.
Meski begitu, kencing batunya tak serta merta hilang. Sesekali kambuh dan setiap kali itu terjadi, suami langsung menuju IGD rumah sakit. Lalu pulang dengan sekian banyak obat lagi.
Siapa pun pasti khawatir melihat pasangannya harus menenggak obat kimia sebanyak dan sesering itu. Tapi aku bisa apa?
Sampai kemudian Covid-19 mewabah. Diimbau untuk tidak ke rumah sakit jika bukan pada kasus yang sangat darurat. Masuk akal, sebab di saat yang bersamaan bisa saja ada pasien yang sudah terinfeksi virus Corona sedang berobat, dan yang bersangkutan serta orang-orang di sekitarnya tidak menyadari.
Tapi bagaimana dengan suamiku yang hampir per dua pekan selalu ke IGD?
Pernah sekali, ketika sudah bersiap akan ke IGD, ia makan sebuah apel fuji. Setelah satu buah habis, katanya nyerinya hilang. Dan batallah beliau ke IGD.
Maka sejak itu, kusediakan apel itu beberapa buah untuk berjaga-jaga. Selain suami, kami hanya makan pisang, pepaya, atau buah lain yang tersedia. Apel hanya untuk Abi, begitu peraturannya.
Dasar apel sadar dibutuhkan, sudah harganya makin naik, belakangan malah jadi langka. Salah satu temanku yang suaminya berjualan buah mengatakan, apel itu diimpor dari Cina. Dan sekarang kondisinya susah dicari.