Lihat ke Halaman Asli

Syarifah Lestari

TERVERIFIKASI

www.iluvtari.com

Jam Karet, Kearifan Lokal yang Tidak Arif

Diperbarui: 13 Maret 2020   15:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi mengabaikan bunyi alarm. (sumber: shutterstock via kompas.com)

Membaca pengalaman kompasianer panutan, kakak dari Medan itu, aku jadi malu sendiri. Beliau berkisah tentang pengalamannya bertemu dengan orang-orang dengan karakter jam karet.

Malu, karena aku saat ini sedang terjangkit virus kearifan lokal itu. Diksinya mungkin kurang bijak, tapi itu selevel lah dengan ungkapan, valentine bukan budaya kita. budaya kita, utang gak bayar.

Bermula pada pertemuan rutin yang sejak dulu ditetapkan mulai pukul 14.30 WIB. Sejak awal memang tidak pernah tepat pada jam itu, tapi tak terlalu lama dari kesepakatan.

Aku yang Indonesia asli, tetap berpegang bahwa jika acara dimulai pukul 14.30 maka 14.29 sudah di tempat. Walau idealnya mungkin 15 sampai 30 menit sudah di lokasi. Tapi ini bukan pertemuan besar dan bukan acara formal, jadi tak perlu persiapan apa-apa.

Sudah jadi mindset kami, jika disebut 14.30 artinya acara dimulai paling cepat 15.00. Jadi aku lebih sering datang sekira pukul 14.30 juga atau lebih sedikit, tapi tak sampai pukul 15.00. Apa lacur, setiap jadwal, aku selalu datang lebih dulu. Melongo sendirian.

oknews.co.id

Sebal juga sih, kenapa sekarang aku malas bawa buku. Seringnya aku datang cuma modal rok celana yang sakunya banyak. Diisi HP, duit, dan kunci motor. Sudah tilawah sampai serak, kawan-kawan tak kunjung datang. Akhirnya main HP, padahal penginnya kurangi interaksi dengan benda sakti satu ini.

Makin ke sini, pertemuan kami makin kendor kualitas karetnya. Secara resmi tetap disebut pukul 14.30, tapi yang hadir rata-rata muncul pukul 16.00. Gila kan? Normal aja sih, kita kan kaum toleran.

Mirip dengan pengalaman kompasianer yang di awal sudah kusebut, atau mungkin pengalaman jutaan manusia yang pernah janjian dengan kita orang Indonesia, aku juga bertemu dengan beberapa orang yang santai bukan main bukan hanya saat telat, bahkan tak datang tanpa kabar.

Di pertemuan berikutnya seolah tidak ada yang salah. Jika ditanya, ia menjawab dengan jawaban yang tidak mengenakkan. Alasan tak masuk akal atau kelewat dibuat-buat. Aku lebih memilih tak minta alasan pada orang model ini, daripada dia buat dosa bohong.

Tapi ia akan masuk dalam catatan khusus di kepalaku. Jangan harap aku akan tepat waktu jika berurusan dengannya. Malah aku berharap ketika terlambat ia akan menanyakan alasanku. Dan kujawab bahwa aku menyesuaikan diri dengan kebiasaannya. Sayang, selambat-lambatnya aku, masih lambat dia.  

Tenang, aku masih waras kok. Untuk pertemuan dengan orang baru atau pada acara formal, tepat waktu tepat bagian dari kebiasaanku. Minimal 15 menit sebelum acara dimulai, aku sudah berada di lokasi, siap untuk bicara atau sekadar duduk mendengarkan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline