Mengomentari artikelku sebelumnya, seorang kompasianer senior menyarankan untuk membahas tentang Cina Buta.
Tadinya kukira beliau typo atau salah ketik, mau mengetik cinta jadi cina. Ternyata ketika dicari di Google, maksudnya memang cina.
Setelah 36 tahun hidup, baru aku tahu ada istilah Cina Buta dalam hal pernikahan.
Waktu kecil dulu, ada sebuah permainan tradisional, namanya Tangtang Duku, yang permainannya dilakukan dengan nyanyian yang mengandung kata cino buto. Apakah yang dimaksud di sini adalah istilah yang sama?
Ling keliling, keliling cino buto. Awas awas budak kecik, ditangkap orang gilo. Begitu liriknya.
Dulu, ketika menyanyikan itu, aku merasa kami rasis sekali. Walau istilah rasis jelas belum masuk ke kepalaku. Sebab kawan-kawan yang keturunan Tionghoa jarang ikut permainan ini. Mungkin tersedak duluan.
Konon, cina buta adalah istilah yang masyhur di masyarakat. Kusebut konon (kata orang Jambi, entah iyo entah idak), karena aku sendiri baru mengetahuinya. Cina buta merujuk pada persekongkolan antara seorang laki-laki dengan mantan istrinya yang dulu pernah ia talak tiga.
Konon lagi, istilah ini bermula ketika zaman dulu kala, seorang laki-laki yang telah menalak tiga istrinya, ingin kembali menikahi perempuan itu. Begitu pula istrinya, ingin rujuk lagi. Tapi karena telanjur ditalak tiga, yang mana dalam Islam harus menikah dengan orang lain dulu, maka bersiasatlah laki-laki ini.
Ia carikan seorang Cina yang buta untuk menikahi mantan istrinya, dengan perjanjian, setelah nikah mereka harus cerai. Dipilih yang buta, agar laki-laki itu tidak bisa melihat bahwa istrinya cantik sehingga tidak berubah pikiran untuk menceraikan. Tapi kenapa harus Cina, Google pun tidak tahu!
Perkara pernikahan itu sendiri, begitu panjang ulasannya. Karena hukum syariat bukan wilayahku, lebih baik tidak membahas itu. Biarlah ulama yang memfatwakan berdasarkan dalil shahih sesuai keilmuan mereka. Yang jelas Nabi Muhammad (shallallahu 'alayhi wasallam) tidak membenarkan pernikahan dengan rekayasa.
Ketika orang sibuk memilih mana yang lebih sopan menyebut Cina, Tionghoa, atau Tiongkok, aku malah merasa pikiran masa kecilku soal "rasis menyebut Cina", justru keliru. Toh kami juga disebut Jawa, dan kerap diembel-embeli murtad, karena tak pernah pakai bahasa Jawa.