Lihat ke Halaman Asli

Syarifah Lestari

TERVERIFIKASI

www.iluvtari.com

Lagi-lagi Soal Ucapan Selamat Natal

Diperbarui: 21 Desember 2019   20:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Photo by Mourad Saadi on Unsplash

Setiap ujung tahun, tema kita belakangan ini tidak jauh-jauh dari resolusi (yang kemudian dikhianati), liburan, tahun baru, dan kontroversi ucapan selamat natal.

Berulang-ulang dibahas dan diulang-ulang pula perdebatannya. Jadi seperti memperingati ulang tahun perdebatan.

Contohnya di Twitter. Yang pro ucapan selamat natal menghambur-hamburkan kuota untuk unggah video ulama yang pro. Demikian pula yang kontra. Padahal kalau mau membaca ulang tweet sendiri, rasanya postingan serupa juga kita bagi di tahun yang lalu, lalu, dan lalu lagi.

Gak sepenuhnya salah sih, kalau niatnya untuk berbagi opini dan upaya menasihati orang lain. Yang jadi salah, ketika gaya penyampaian yang ngegas itu loh! Maunya kalau ngomong semua orang manut. Lah ente siapa? Nabi aja disangkal banyak orang, kok yang sama banyak dosanya ibarat noyor-noyor kepala orang.

Waktu kecil dulu, setiap Desember kami biasa bertandang ke rumah tetangga yang Kristen. Mereka dengan senang hati membukakan pintu, memberi macam-macam makanan, bahkan duit.

Makin bertambah usia, diberi tahu oleh ustaz, tidak boleh mengucapkan selamat natal. Dan memang kami tidak mengucapkan selamat natal. Hanya datang, makan, dapat amplop, pulang.

Yang kami tahu dulu itu, orang Batak lagi lebaran. Sebutan orang Batak ini pun baru disadari kekeliruannya setelah lewat masa itu.

Nalar kanak-kanak kami belum bisa membedakan mana suku mana agama. Bahkan dulu kami kira di dunia ini hanya ada Islam dan Kristen. Kalau tampangnya bukan Melayu, berarti dia Kristen. Padahal Batak kan bau-bau Melayu juga.

Sudah belajar di sekolah tentang agama-agama di Indonesia dan macam-macam suku. Tapi dasar bebal, kami tahunya main.

Nah setelah tahu dilarang mengucapkan selamat natal, tidak ada yang berubah. Kami tetap belanja di toko-toko orang Cina. Entah mereka merayakan natal atau tidak (kan kami tidak tahu agamanya). Kami tetap main bersama, entah itu Batak, Minang, Jawa. Kami tidak melihat perbedaan.

Kalau sekarang elit sibuk dengan isu-isu radikalisme, intoleransi, dan macam-macam istilah. Kok ya kayak ada sesuatu. Seolah memaksakan munculnya gesekan di masyarakat. Padahal sampai sekarang pun, Alhamdulillah tidak ada masalah berarti soal perbedaan agama dan suku, paling tidak di sekitar rumahku. Bahkan di kota kami.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline