Lihat ke Halaman Asli

Syarifah Lestari

TERVERIFIKASI

www.iluvtari.com

Pelajaran Hari Ini, dari Tukang Bubur sampai Pajak Tanda Tangan

Diperbarui: 18 Desember 2019   16:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dok. pribadi

Yang kusuka ketika anak-anak libur sekolah adalah, tidak perlu keluar rumah. Kata kakakku, "Untunglah kau ni cewek, kalo cowok susahlah hidup kau. Apo-apo malas!"

Kakakku gak tahu, orang pintar memang cenderung malas. Itu kata Google.

Tapi mau tak mau aku harus keluar juga hari ini, meski anak-anak libur karena guru mereka sibuk mengisi raport. Agenda utama adalah mengurus tanah orangtua yang sejak dulu tak habis ceritanya. Berkas yang kuurus ini bahkan dimulai sejak tahun 1996, seingatku di tahun itu aku masih kelas 6 SD.

Untuk kesekian puluh kali ke Kantor Pertanahan Kota Jambi. Kami menyebutnya BPN, singkatan yang gak nyambung blas dengan penamaan lembaga itu sekarang. Sedangkan orangtuaku, tahunya itu Kantor Agraria.

Sekira tahun 1970-an, Mamak (ibuku) membeli tanah 3,5 tumbuk (menurut KBBI "tombak", satuan ukuran panjang 12 kaki) dari seorang pegawai kantor tersebut. Setelah pembayaran lunas dengan bukti-bukti kwitansi bertanda tangan dan distempel, sertifikat tak kunjung keluar.

Tunggu punya tunggu, yang datang justru Satpol PP yang menyatakan bahwa tanah tersebut milik negara. Mamak ditipu seorang pegawai agraria yang sekarang sedang mempertanggungjawabkan perbuatannya. Bukan di penjara, tapi di alam kubur sana.

Tahun 2013 seseorang memberitahu, bahwa tanah negara yang tengah kami kuasai (keluargaku dan masyarakat sekitar) dilepas pemerintah. Yang berhak membeli adalah warga yang menetap lama di lokasi tersebut, yang namanya masuk dalam daftar. Syukurlah nama Mamak tertera di sana.

Nanti setelah sertifikat ini tuntas, akan kuceritakan sejak awal hingga akhir bagaimana perjuangan mendapatkan sepetak tanah yang akhirnya hanya tertera 2,67 meter persegi ini (dari 3,5 tbk tadi).

Dari BPN, aku menuju Kantor Lurah untuk mendapatkan tanda tangan yang dibutuhkan. Tiba di lokasi, Pak Lurah sedang tidak di kantor, jadi berkas kutinggal dan beralih ke urusan yang lain dulu.

Kutuju Grapari Telkomsel untuk mengurus SIM Card yang bermasalah. Di sebelah grapari, ada halte yang dipakai berjualan oleh seorang kakek. Benar-benar seorang kakek! Renta dan lamban. Usia yang tidak pantas dipakai mencari nafkah.

Terbersit harapan, semoga kakek ini berjualan semata karena hobi, bukan karena kebutuhan. Tapi di sisi lain, ada perasaan yang cukup absurd untuk digambarkan. Aku mampir dengan niat mengambil gambarnya. Siapa tahu jika dibagikan ke medsos, ada yang tertarik membeli bubur dagangan si kakek.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline