Awal Oktober 2016 menjadi babak baru dalam kehidupanku. Dengan tekad bulat, hari itu aku memutuskan berhenti dari pekerjaan sebagai tenaga administrasi di sebuah sekolah swasta.
Datanglah beberapa tawaran untuk bekerja di model lembaga yang sama, tapi aku memilih fokus untuk kembali menekuni hobi, seperti ketika belum menikah, yakni menulis.
Sebenarnya selama bekerja pun, aku masih menghasilkan karya tulis berupa cerpen dan sesekali esai ringan. Tapi jumlahnya tidak banyak, karena menulis tidak hanya membutuhkan ide, tapi juga waktu, mood, dan referensi. Maka setelah 'resmi' menyandang status sebagai Ibu Rumah Tangga, kubulatkan tekad untuk lebih banyak berkarya.
Berbeda dengan zaman remaja dulu, yang untuk mendapatkan referensi, aku mesti mengumpulkan majalah dan koran. Sekarang semua lebih mudah disebabkan pesatnya kemajuan tekonologi. Bermodal lansiran dan kutipan dari media besar, sehari kita bisa menghasilkan banyak tulisan. Tapi untuk cerpen, aku lebih sering mengandalkan pengalaman.
Kalau dulu, tantangan terbesar seorang penulis adalah menerbitkan karyanya. Di majalah, koran, atau penerbitan, membuat tulisan kita terpampang bukanlah hal mudah. Berbeda sekali dengan saat ini, di mana banyak media sosial yang dapat dimanfaatkan untuk membagikan buah pikir kita. Tapi tak selamanya mudah juga, sebab media sosial membutuhkan koneksi internet. Dan bukan sekadar koneksi, tapi juga sinyal yang kencang, stabil, dengan harga terjangkau.
Aku tinggal di tengah kota, sekaligus di tengah-tengah bangunan rumah yang tinggi. Kanan dan kiriku adalah tetangga yang punya lahan terbatas, sehingga harus meninggikan bangunan untuk memenuhi kebutuhan tinggal mereka. Maka, gawai yang kubutuhkan untuk terkoneksi internet harus memiliki kemampuan menangkap sinyal sangat baik.
Apalagi sekarang tidak hanya menulis cerpen, beberapa genre populer mulai menarik minatku. Meskipun populer---yang terkesan ringan---aku selalu membutuhkan referensi yang kuupayakan tidak ala kadarnya. Jadi bukan sekadar kutipan atau lansiran dari media mainstream, aku juga butuh jurnal lengkap, buku elektronik, dan video yang dapat kuputar berulang-ulang.
Menggunakan fasilitas tethering dari ponsel pintar tak selamanya nyaman. Lebih sering ponselku panas meski tak digunakan. Belum lagi kuota yang cepat habis, sebab anak dan suami sering ikut-ikutan nimbrung, menghubungkan gawai mereka ke tethering ponselku. Aduh, sudah sinyal naik turun, dipakai ramai-ramai, pantas saja ponselku panas. Belum lagi informasi loading pada peramban netbook yang berputar-putar seperti jalan di tempat.
Dari hasil berselancar ke beberapa laman, kudapati informasi tentang ModemMiFiM5yang sudahmenggunakan jaringan 4G LTE. Disertai kemampuan terkoneksi dengan 32 pengguna, membuatku lumayan kepincut. Selain sebagai modem, mifi keluaran andromax ini dapat pula digunakan sebagai power bank. Terbayang betapa banyak manfaat kalau barang ini berhasil kudapatkan. Untuk kumpul bareng penulis lain, benda hebat ini pun makin memudahkan berbagi file dengan kawan-kawan nongkrong.
Ah sudahlah, kembali fokus ke hobi. Dengar-dengar sekarang sedang musim menghasilkan duit dari hobi. Siapa tahu dengan menulis, aku bisa mengumpulkan rupiah untuk mendapatkan ModemMiFiM5tanpa harus minta pada suami. Atau langsung dikirimkan setelah kutulis cerita ringan ini. Rezeki siapa yang tahu.
Kalau saja ada alat yang dapat menghitung indeks kebahagiaan, aku yakin poinku saat ini jauh lebih tinggi ketimbang saat bekerja. Mana yang lebih menyenangkan, bekerja untuk orang lain atau menyalurkan hobi? Semua orang tahu jawabannya. Semua karena kehebatan teknologi, yang membuat hari-hari berjalan sebagai Live Smart, serba mudah, serba nyaman.