Lihat ke Halaman Asli

suray an

A Daddy of Two

Semuanya Semu alias Hyperrealita

Diperbarui: 6 Juni 2020   01:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi: KOMPAS

Semuanya Semu?

Wait, berapa likes atau views atau comment-kah yang muncul di feed IG-ku? Ada nggak ya yang menganggap video IG-ku itu menarik atau jangan-jangan malah ada yang menganggapnya membosankan? Dipikir-pikir, berapa kali sih diri ini memikirkan hal-hal itu tiap saat? Jawabnya mudah: sering.

Padahal, shallow banget kalau dipikir-pikir. Mengapa juga sih mikirin hal-hal seperti itu? Karena memikirkan hal-hal itu sama saja diri ini kecemplung ke dalam lingkaran kedangkalan yang ujung-ujungnya malah bisa-bisa bikin hati resah.

Padahal, I know myself. Di balik hyperrealitas saya tersenyum di banyak feed IG saya, ada warna abu-abu di dalam hidup saya yang tak mungkin atau (belum) nampak saja. Itulah hyperreality. 

Okay, saya sering membaca bahwa medsos itu semu. Yup, sudah tahu dan sadar sejak (mungkin) 4 tahun lalu pas diri ini kecemplung pakai IG--salah satu medsos yang sampai saat ini rajin saya pakai.

Okay, saya sering juga membaca bahwa daripada pakai medsos yang semu itu, mendingan saya keluar ketemu orang lain, berpetualang sana-sini, melakukan ini itu seperti biasa dan simpan itu sendiri sebagai kenangan pribadi tanpa harus nyimpen dan nunjukinnya di dunia maya. Anggaplah dunia ini nirmedsos.

Namun, apa daya, pas diri ini mencoba hidup di dunia nirmedsos, tiba-tiba harus dihadapkan dengan pageblug seperti ini. Medsos justru seakan menjadi tempat bagi diriku untuk melihat, mengintip, dan menumpahkan realitas hidup. Lagi-lagi, diri ini dibenturkan dengan dan dicemplungkan ke dalam lingkaran kedangkalan(?).

Siapa yang membenturkan dan mencemplungkan? Saya tak mau menyalahkan si Covid-19!

Itu karena saya sendirilah yang secara sadar tetap "bersilaturahmi" dengan medsos yang akhirnya membawa diriku (kini) terkadang bergumam, "Jangan-jangan ada yang nggak suka dengan unggahanku, jangan-jangan ada yang senewen dengan feed-ku, jangan-jangan ada yang anggap Suray ini kurang kerjaan, jangan-jangan Suray ini kerjaannya tiap hari hanya bikin video, jangan-jangan dan jangan-jangan yang lain!"

Itulah perasaan yang muncul selama hampir 4 bulan terakhir.

Satu hal yang pasti, saya sendiri sadar bahwa IG (plus YouTube dan Google Photos) adalah wadah saya menyimpan semua foto dan video dari hal-hal yang terjadi di kehidupan saya yang nyata. Masalahnya adalah, begitu semua itu saya unggah ke IG, misalnya, maka semua itu menjadi tidak nyata alias unreal alias semu. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline