Tanah intan bulaeng, itulah sebutan indah bagi desa darat kita samawa. Sebutan yang sudah ada bahkan jauh sebelum masyarakat sumbawa mengenal sistem modern pengolahan batuan. Terselip siratan makna kejayaan, kemulyaan dan masa depan yang cerah di balik makna tanah intan bulaeng. Bulaeng sendiri yang berarti emas telah mendapatkan predikat sebagai batu mulia dalam berbagai kitab suci agama agama. Keberadaan emas tak pernah terlepas dalam sejarah perjalanan umat manusia. Sifat dasar manusia sebagai homo ekonomicus pun lahir dan terdorong untuk terus mencari kepuasan diri dengan mengakumulasi emas sebagai bukan hanya sekedar sistem tanda namun juga sebagai penanda atas kejayaan diri seseorang maupun bangsa.
Emas dewasa ini tidak lagi sekedar logam mulia yang menandakan maju tidaknya cadangan perekonomian sebuah bangsa, namun lebih dari itu emas dalam sejarahnya telah menjadi variabel paling berpengaruh yang mampu merubah watak sosiologis sebuah masyarakat. Sejarah mengajarkan kepada kita bagaimana begitu banyaknya suku terpencil dan tertutup di Afrika dan Amerika bangkit menjadi masyarakat terbuka lalu terusir atau hilang di telan bumi akibat keberadaan emas dalam kandungan tanah bumi leluhur mereka (baca: black diamond). Dan sejarahpun mengajarkan kepada kita bahwa awal penaklukan bangsa eropa yang selanjutnya dikenal dengan kolonialisme dan imprealisme yang melahirkan perang dan jeritan tumpah darah juga terdorong oleh semangat mengakumulasi emas (Gold-Glory-Gospel).
Kembali ke Samawa Tanah intan Bulaeng, adakah sebutan itu akan membawa berkah bagi kemajuan masyarakat tana samawa atau justeru membawa kita berada pada antrian yang sama mengikuti sejarah suku suku terpencil di Afrika ataupun Indian yang kini terpisah dari tanah leluhurnya karena keberadaan emas yang justeru menjadi kutukan bagi masyarakat pribumi. Tentu bukan itu yang kita inginkan dari takdir karamnya kita di atas pulau emas ini. Masyarakat sumbawa modern jauh lebih berperadaban untuk bisa membuka diri dan membangun komunikasi serta menegosiasikan nilai identitas lokal di hadapan dunia modern. Masyarakat sumbawa tidak pernah membakukan sebuah identitas nilai, namun sangat kuat memegang prinsip nilai identitas sebagai diferensiasi diri mereka dengan dunia luar. Diealektika akumulasi pengalaman dalam proses menjadi Tau Dan Tana Samawa lahir dari pergumulan yang begitu panjang dan begitu kompleks di tengah berbagai nilai nilai identitas yang lain. Sejarah inilah yang membentuk sosiologis masyarakat sumbawa sebagai masyarakat terbuka (open society). Masyarakat sumbawa bahkan gandrung lebih cepat menerima perubahan dunia luar untuk mengadaptasi diri dibanding menjadi masyarakat tertutup dan berdiam diri menerima keadaan konvensional.
Jagad mental budaya sumbawa yang terbuka dan cendrung adaptatif dengan perubahan ini bukan berarti bahwa mereka sedang berdiam diri untuk tidak menempatkan diri pada posisi oposit (berseberangan) dengan dunia baru yang sedang mereka hadapi. Benar bahwa masyarakat sumbawa lebih mampu mengkontrol diri untuk tidak reaktif menghadapi perubahan sebagaimana saudara terdekatnya Bima, namun dunia dalam orang sumbawa selalu memendam bara yang kapanpun bisa meledak di balik diam dan senyum manisnya. Inilah yang harus mampu dipahami oleh siapapun tentang jagad mental budaya Tau Dan Tana Samawa. ” tutu si lenas mu gita mara ai dalam dulang rosa dadi umak rea” adalah penggambaran tentang potensi bara di balik diamnya masyarakat sumbawa jika dialektika antara nilai diri dan pengaruh luar tak mampu ditemukan titik negosiasi.
Keberadaan PT. NNT Dan Potensi Konflik
Pengaruh luar yang akan membawa dampak besar bagi perubahan masyarakat sumbawa yang paling terlihat di depan mata sekarang ini adalah terkait takdir keberadaan emas dalam kandungan bumi tanah Sumbawa. Dalam hal ini tentu lebih spesifiknya adalah terkait keberadaan PT. Newmont Nusa Tenggara (PT. NNT) sebagai pemegang terbesar wilayah konsesi pertambangan di kabupaten Sumbawa. Arus teknologi dan informasi telah merubah masyarakat sumbawa untuk tidak hanya berdiam diri sebagaimana tahun 1986 ketika Kontrak karya disepakati. Masyarakat sumbawa kini adalah masyarakat yang maju dan kritis. Kritisisme ini jika tidak direspon secara baik dengan pola komunikasi yang tepat akan menjadi bencana tidak hanya bagi perusahaan namun juga bagi masyarakat Sumbawa sendiri.
Rentetan catatan aksi dan protes tiada henti menghiasi media massa sejak kembali dilakukannya eksplorasi PT NNT di Blok Elang-Dodo. Dari rentetan aksi dan protes tersebut setidaknya ada beberapa hal yang penulis garis bawahi tentang bangkitnya semangat untuk mendapatkan perlakuan yang adil dari tata kelola pertambangan. Pertama, masyarakat sumbawa semakin cerdas mengkritisi bahwa Pajak, Royalti dan deviden atas keberadaan PT. NNT tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap pemasukan (income) daerah yang akan berdampak pada kesejahteraan masyarakat lokal. Ke-dua, kesadaran bahwa tidak mungkin serapan tenaga kerja akan besar bagi masyarakat sumbawa, karena PT. NNT diyakini tidak akan membangun pabrik Crusher dan Konsentrator dalam wilayah adminstrasi kabupaten Sumbawa, Sumbawa hanya akan dijadikan tempat pengeboran untuk selanjutnya batu hasil peledakan di Sumbawa dikirimkan melalui conveyer ke mesin peleburan di Batu Hijau KSB, sehingga pada masa produksi ke depan tenaga kerja yang dibutuhkan perusahaan tentu hanya tenaga ahli pertambangan bukan mayoritas masyarakat lokal non skill. Ke-tiga, Produksi di Blok Elang tidak akan mampu melahirkan multi player efek untuk dapat memeratakan pembangunan di seluruh wilayah kecamatan di sumbawa karena jalur distribusi dan mobilitas barang, jasa dan orang akan terkonsentrasi melalui jalur selatan (Ropang-Lunyuk-Batu Hijau), bukan melalui dalam wilayah kabupaten sumbawa (Ropang-Lantung dan seterusnya melalui Tano-Benete) . Ke-empat, tidak diberikannya kesempatan bagi masyarakat sumbawa yang telah lama bekerja di PT. NNT untuk menempati posisi strategis dalam struktur perusahaan.
Dari setidaknya empat catatan di atas, penulis juga menangkap dari berbagai diskusi dan obrolan dengan berbagai stake holder di Sumbawa, bahwa keberadaan PT. NNT hanya akan membawa dampak inflasi (naiknya harga barang) yang akan menjerat masyarakat sumbawa di tengah pendapatan masyarakat yang tidak berubah. Ini akan menjadi boomerang ketika harga harga barang menjadi naik, tawaran barang yang beredar pun semakin banyak menggiurkan, namun pendapatan masyarakat tetap sedang ratusan pendatang berkelana dengan mobil mewah di daerahnya, maka konteks “Rosa Dadi Umak Rea” (diam berubah menjadi gelombang tsunami kemarahan) tak mungkin bisa dicegah.
Untuk itu perencanaan yang tepat dan pola komunikasi yang baik harus segera diperhitungkan dengan matang olehPT. NNT jika tetap ingin berada di kabupaten sumbawa. Hal terdekat untuk menguji keseriusan PT. NNT dalam menghargai keberadaan penduduk lokal adalah terkait lowongnya jabatan Senior Manager Ekternal setelah ditinggalkan oleh Arif Perdanakusuma. Semua masyarakat sumbawa merekam komposisi masyarakat lokal sumbawa yang sejak eksplorasi batu hijau sudah bekerja di PT. NNT dan sudah pantas menduduki posisi strategis sebagai Senior Manager Eksternal tersebut. Semua masyarakat sumbawa pun tahu bahwa posisi itu adalah posisi strategis sebagai katalisator penyambung keinginan perusahaan dan masyarakat agar terjalin pola komunikasi yang harmonis. Catatan kritis atas keberadaan PT. NNT selama ini adalah sekali lagi kurang mampunya membangun komunikasi yang tepat untuk membahasakan bahasa perusahaan dengan bahasa yang mampu dipahami oleh penduduk lokal. Dan teori sederhana untuk memecahkan sekat pola komunikasi tersebut adalah tentu orang sumbawa jauh lebih mampu memahami dunia dalam masyarakat lokal, sehingga keberadaan orang Sumbawa menjadi wajib menempati posisi posisi strategis di perusahaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H