Lihat ke Halaman Asli

What's in a Name?

Diperbarui: 20 Juni 2015   05:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

What’s in a Name?

Oleh: suhanalimfengshui.com

“Nama tidak tepat, ucapannya tidak diterima. Ucapan tidak diterima, seseorang tidak dapat mencapai apapun.” Begitulah ungkapan dalam tradisi Chinese mengenai pentingnya nama bagi kehidupan kita. Nama adalah identitas diri dan trademark seseorang. To certain extent, juga ikut memengaruhi baik buruknya kehidupan. Jadi tidak bijak untuk asal/sembarangan dalam memilih nama.

Semasa sekolah dulu, sering sekali among school friends, kami saling nge ceng(meledek) dengan cara memanggil nama ayah atau ibu. Jadi teman bukan dipanggil namanya tapi menyebut nama orang tua nya. Atau nama nya dipelesetkan sehingga jadi lucu atau aneh atau persis dengan sesuatu yang konyol.

Sikon bagaimana kebiasaan masyarakat ikut pula memengaruhi baik buruknya nama. Banyak sekali yang punya nama bagus hasil dari telitinya sang ayah ibu dalam memilihkan. Tapi sayang semua jernih payah nya jadi sia sia dan jadi mentah lagi karena belakangan dipanggilnya beda dengan nama asli. Yang paling umum dan endemik ialah panggilan “koko/cici” atau “dede.” Akhirnya si anak malah namanya/ disebut sebagai “koko,” “cici,” atau “dede” saja. Real name seakan tidak ada. Kebiasaan ini umumnya bermula dari sang orang tua sendiri, lantas diikuti oleh pembantu, baby sitter, dan menular ke keluarga yang lainnya dan akhirnya umum pun ikutan.

Banyak juga yang sebenarnya namanya baik, tapi akhirnya jadi kedengaran lucu dan aneh karena pengaruh “lidah lokal.” Misalnya saja nama David. Panggilannya seharusnya Dave, tapi malah disebut sebagai “Dapid” atau “Pid.”  Nama Robert harusnya nicknamenya Bob, tapi jadi dipanggil “Bet.” Coba saja perhatikan, banyak sekali nama yang sebenarnya bagus tapi akhirnya “terpeleset” karena pengucapannya sulit, karena panggilan konyol lainnya. Jadi nama yang indah-indah semuanya jadi tidak berarti karena aplikasi dilapangannya melenceng (karena ketidak tahuan atau memang sengaja.)

Dalam memilih nama Chinese disesuaikan dengan ba zi si anak, juga menyesuaikan dengan generation name (ada yang ditengah atau dibelakang). Kalau nama marga selalu di depan. Karakter yang dipilih dilihat termasuk unsur apa, berapa banyak stroke nya. Lantas kalau sudah dapat, dianalisa juga bagaimana kecocokan antar ketiganya.

In regards dengan memilih nama Chinese dan Latin, sudah saya jabarkan dengan detail dibuku-buku saya. Untuk detailnya silahkan dibaca langsung.

Pada masyarakat dan tradisi tertentu, ada anggapan untuk tidak memberikan nama yang terlalu “tinggi/berat” agar tidak membebani si anak. Logikanya kalau terlalu bagus maka si anak malah jadi susah. Ada lagi kepercayaan untuk memanggil bayi dengan nama yang jelek, agar tidak diganggu/diculik oleh setan.

In the past, dimana jumlah anak dalam keluarga masih banyak, sering dijumpai pemberian nama berdasarkan urutan kelahiran. Maka ada nama Ayit, Anyi, Asam, Asi, Aeng, Aliuk, Achit yang artinya kesatu kedua ketiga keempat kelima keenam ketujuh. Cara itu bukan monopoli orang Chinese saja, pada masyarakat Bali juga sama, begitu pula pada masyarakat Italy.

Ada juga yang maksain dot com atau cocokologi dalam ngasih nama. Biar nama semua anak-anaknya mirip-mirip bunyinya. Tak sedikit pula yang berkreasi memberi nama ke anak dengan menggabungkan nama ayah ibu, memilih nama yang antik dan beda/tidak umum. “Kreatifitas” model begitu sering menciptakan nama yang malah jadi kedengaran aneh. Having said that, sepanjang si ortu happy dan hopefully dikemudian hari si anak juga suka, maka penciptaan nama baru itu sah-sah saja.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline