Lihat ke Halaman Asli

Ansuransi, Antara Kebutuhan dan Perlindungan Diri

Diperbarui: 17 Juni 2015   08:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kehidupan manusia di masa yang akan datang tidak ada mampu meramalkannya,sekalipun menggunakan alat/ilmu analisis yang canggih. Apakah hidup kita sesempurna yang kita rencanakan? Atau malah sebaliknya?

A.Belajar dari Pengalaman

Saya lahir dari keluarga yang bisa dikatakan mampu  secara ekonomi. Bapak  pegawai salah satu BUMN dan merupakan anak tunggal dari keluarga yang berkecukupan. Istilah katanya “ Walau bapak  tidak bekerja sekalipun,hidupnya bisa terjamin sampai anak cucu.” Begitupun dengan ibu saya. Meskipun dia dibesarkan oleh orang tua angkat dan sebagai anak satu-satunya pula,tidak menjadikannya malas dan bergantung pada orang lain. Meskipun  ia hanya disekolahkan sampai SD,tapi semangat hidupnya tinggi. Tidak mengandalkan penghasilan suami dan pemberian orang tua. Selain sebagai ibu rumah tangga yang mengurus  segala sesuatunya sendiri,ia tetap berdagang kue partai besar.

Orang menilainya sudah enaklah  hidupnya. Tidak harus memikirkan akan tinggal dimana keluarganya meskipun belum mampu membeli  rumah sendiri,bahkan ketika ditawarin rumah dinaspun bapak menolak. Dengan alas an apa,aku sendiri kurang jelas.

Garis hidup yang istilahnya sudah jelas saja, bisa berubah arah. Ketika saya masuk Sekolah Dasar,bapak dihadapkan pada masalah yang cukup rumit. Kala itu ia harus memilih antara     Pensiun dini dengan catatan hak pensiun bisa diterima setelah usia pensiun sampai (selama menunggu itu tidak mendapat hak sebagai pegawai) atau dipindah tugaskan ke daerah terpencil tanpa tunjangan tambahan. Dengan berat hati,akhirnya bapak memilih option   pertama karena kondisi nenek yang pada waktu itu tidak mungkin untuk ditinggal. Sadis memang. Dipaksa pensiun sementara haknya  sebagai karyawan terputus dan untuk mencapai usia pensiun masih butuh waktu 16 tahun yang akan dating. Trus…..mau makan apa? Begitu kira-kira pertanyaannya.

Karena kondisi keluarga yang memang mencukupi,permasalahan itu  bukan merupakan sebuah beban. Berbagai usaha juga pernah dicoba untuk mengisi kegiatan dan menambah penghasilan. Mulai dari sewa becak,toko obat,sampai ternak sapi. Namun semuanya berujung penghianatan orang-orang yang diberi kepercayaan. Alhasil tabunganpun mulai berkurang,tanpa pemasukan tetap.

Untung ibu sudah terbiasa berdagang,hasil usahanya bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari kami. Biarpun bapak menganggur tapi kami bisa  hidup layak,seperti anak-anak pada umumnya.  Bagaimana urusan sekolah kelima anaknya?

Ketika masih disekolah dasar tidak terlalu berat,namun saat sudah ada yang melanjutkan ke perguruan tinggi,disini bapak mulai kerepotan. Solusinya ya itu…..setiap tahun ajaran baru,kam,kelima anaknya diminta daftar kebutuhan sekolah selama setahun. Uang makan,uang kos,uang buku,dan keperluan lainnya. Trus total biaya yang dibutuhkan berapa,tinggal menjual sepetak/dua petak tanah milik orang tuannya. Dan ini terjadi sampai anaknya  ada yang tuntas tuntas. Baru ditahun 1999 beliau memasuki  usia pensiun dan bisa mendapatkan haknya yang pernah menjadi pegawai. Lucu dan miris kala mengingat masa-masa dulu.

Awalnya,tanah satu RT ditempat tinggal keluargaku,hampir 40%nya milik keluarga kami. Kebetulan nenek dan kakek semuanya pegawai dan punya usaha  sebagai penjual batik di sumatera. Sekarang hanya tersisa beberapa petak saja,sebagai peninggalan lelulur untuk generasi ketiganya. Belajar dari semua itu,membuat saya lebih bijak dalam menangani dan merencanakan keuangan.

B.Mengenal Ansuransi

Kata ansuransi awalnya hanya saya ketahui sebagai ganti rugi/pembayaran atas kecelakaan. Karena yang saya tau,kalau bepergian ke luar kota selalu mendapat kartu Jasa Raharja saat membeli tiket (maaf tidak bermaksud mendikkreditkan perusahaan). Kesimpulan saya,kalau tidak dalam kondisi bepergian jauh berarti tidak membutuhkan ansuransi. He….he…

Setelah diperguruan tinggi,baru saya mengenal warna-warni dunia ansuransi berikut pentingnnya bagi kehidupan kita. Apapun bisa ditanggungkan dan penanganannya juga tidak lagi dikelola oleh pemerintah saja. Sekarang ini banyak ansuransi perusahaan asing serta ansuransi campuran yang bisa dijadikan referensi sebelum menjatuhkan pilihan untuk beransuransi

C.Ansuransi apa sih yang kita butuhkan?

Setiap individu mempunyai kebutuhan yang berbeda,begitu juga ansuransi yang dibutuhkan untuk perlindungan dirinya. Alhamdulilah,karena saya dan suami punya pekerjaan yang recommended, untuk urusan kesehatan saya berikut keluarga sudah menjadi tanggungan pemerintah. Untuk ansuransi kendaraan juga tak terpikirkan,karena mobil operasional sehari-hari kita juga fasilitas dari kantor suami. Jika ada sesuatu dan lain hal yang berhubungan dengan kendaraan,pihak ansuransi perusahaan yang menangani. Kita terima beres.

Trus…Apakah kondisi ini menbuat saya tenang dan merasa aman dengan masa depan? Jawabannya,sudah tentu,tidak!! Belajar dari pengalaman hidup tadi,apa yang kita miliki saat ini belum tentu bisa kita nikmati esok hari. Hal yang saya khawatirkan akan masa depan adalah pendidikan kedua  anak saya. Akankah mereka bisa mengenyam pendidikan tinggi, jika saya mengalami hal yang sama dengan bapak saya. Mau  matokkin tanah siapa? Wong nyicil rumah saja perlu waktu 10 tahun. Nungguin warisan? He…he……ibu saya pernah bilang. Peninggalan nenek sudah habis untuk sekolah kalian. Itulah warisan dari kami…semoga kelak kalian bisa memanfaatkannya untuk kehidupan yang keras ini.

Untuk itu,sejak anak pertama saya lahir,saya langsung mendaftarkan ansuransi pendidikan untuk masa depannya. Tak peduli penghasilan kami saat itu bisa mencicil preminya atau tidak. Yang penting ada bekal untuk sekolah mereka kelak.

D.Mengapa harus ansuransi pendidikan?

Ngapain pake ikut-ikut ansuransi segala? Kalo saya biasa-biasa sajalah. Kan ada uang bulanan ini,toh kita masih kerja ini……Sekolah gtatis oi,ngapain daftar ansuransi……Emang duitmu ga cukup buat  bayarin uang sekolah anak? Itu kalimat-kalimat yang kerap saya dengar,kala ada yang mendapati saya membayar uang premi ansuransi. Ketika ada petugas ansuransi yang presentasipun kerap dipandang sebelah mata oleh orang-orang disekitar saya. Entah karena mereka tidak membutuhkan atau karena merasa hidupnya terjamin sampai menutup usia. Entahlah…..hanya mereka yang punya jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tadi.

Pendidikan memang gratis,apalagi di orde pemerintahan sekarang. Ada program Kartu Indonesia Pintar,Kartu Jakarta Pintar (khusus yang tinggal di DKI Jakarta),Perguruan Tinggi Ikatan Dinas yang full gratis,dan biasiswa-biasiswa lainnya.

Setiap orang tua mempunyai keinginan anak-anaknya dapat tumbuh dan berkembang secara maksimal. Kalau rezeki mereka nanti bisa melanjutkan sekolah sampai ke perguruan tinggi dan mendapat beasiswa alhamdulilah. Nah untuk mempersiapkan mereka ke sana,kita juga harus memberikan pendidikan yang terbaik sejak di sekolah dasar. Terus terang,kalau urusan pendidikan anak,saya lebih mengutamakan dari kebutuhan-kebutuhan yang lainnya. Kepribadian dan karakter anak akan terbentuk mulai mereka mengenal lingkungannya. Lingkungan pendidikan yang baik akan memberikan dampak yang baik pula bagi pembentukan karakter mereka. Untuk itu,sejak mereka memasuki usia sekolah,saya memilih sekolah yang berbayar dengan jam belajar yang lebih lama.

Dasar pemilihan ini bukan karena saya tidak percaya dengan mutu pendidikan yang gratis,tapi untuk anak Sekolah Dasar apalagi kedua orang tuanya bekerja,lebih baik kalau waktu mereka disekolah lebih lama daripada dirumah bersama  pembantu. Apalagi kalau tidak ada keluarga yang mengawasi dirumah. Belum lagi,kalau disekolah negeri,kita masih memikirkan  les calistung, ngaji,dll yang otomatismembutuhkan biaya ,belum lagi anter jemputnya. Jam belajar di sekolah negeri yang begitu singkat sangat luar biasa jika anak kita bisa menguasai   tingkat kemampuan yang harus dicapai tanpa harus melibatkan peran orang lain diluar. Lebih baik saya memilih sekoalah yang mencakup keduanya.  Pepatah jawa bilang ONO REGO ONO RUPO. Sayapun memilih SDIT,ilmu dunia dapat,ilmu akhirat juga ngikut.

Untuk biayanya bagaimana? Kalau  menurut ukuran kantong saya sangat lumayan sekali. Uang masuk disekolah ini bisa 4x lipat gaji saya.  Belum lagi daftar ulang setiap tahunnya sekitar 50% dari uang pangkal. Itungan satu anak saja sudah sesak. Ada dua orang yang harus saya pikirkan disini. Untungnya,sejak mereka lahir,saya sudah mendaftarkan ansuransi pendidikan. Ketika anak pertama saya masuk TK di yayasan yang sama,saya masih dapet kelebihan dari tertanggung ansuransi yang saya dapat. Begitu masuk masuk SD,nombok sekitar 1.5juta waktu itu. Alhamdulilah terbantu sekali.

Menabung bisa dimana saja, Kalau tabungan pendidikan anak-anak disimpan di rekening biasa,tangan kadang gatel kalau ada uang ngendap. He….he….dengan beransuransi pendidikan kita dipaksa untuk menabung demi pendidikan anak. Masih berat beransurasi? Pikirkan lagi kata-kata ini,hari  ini seisi bumi bisa saja kau miliki,esok hari itu rahasia Ilahi.

#BeratBeransuransi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline