[caption id="attachment_414982" align="aligncenter" width="620" caption="Ilustrasi - sekolah terbuka (kompas.com)"][/caption]
Dalam suatu pertemuan, Prof. Arief Rahman pernah mengatakan, “Pendidikan di Indonesia hanya mengantarkan anak didiknya memperoleh ijazah dan memperoleh kerja namun belum mampu megantarkan mereka mengenalkan Tuhannya dan menuju surga.” Yang saya garis bawahi dari perkataan beliau adalah pada kalimat pertama “Hanya mampu mengantarkan anak didiknya untuk memperoleh ijazah dan memperoleh kerja” kalimat ini sangat mewakili gambaran pendidikan di negeri kita sekarang ini.
Sebut saja SMP Terbuka, contoh yang nyata di hadapan kita. SMPT diselenggarakan untuk mengatasi siswa yang tidak bisa mengikuti belajar di sekolah regular karena berbagai hambatan, misalnya keterbatasan ekonomi (harus membantu orang tua bekerja) atau lokasi. SMPT dalam penyelenggaraannya dilaksanakan di Tempat Kegiatan Belajar (TKB), biasanya dikelola oleh masyarakat yang peduli akan pendidikan. Mereka hanya diwajibkan belajar 16 jam/minggu atau 2-4 hari di TKB dan 1-3 hari di sekolah induk (SMP Negeri) di wilayah masing-masing.
Sekolah yang menjangkau anak yang tak terjangkau ini bisa dikatakan sudah disalahartikan oleh masyarakat yang tinggal di sekitar sekolah penyelanggara. Mereka beranggapan bahwa siswa SMP Terbuka itu merupakan kelas siang dari sekolah induk yang ditumpangi (apalagi sekolah induknya merupakan sekolah favorit) sehingga tak heran jika jumlah yang mendaftar ke SMPT tak terbendung jumlahnya.
Saya masih ingat betul saat PSB SMPT. Kebetulan tempat saya mengajar merupakan sekolah induk dari SMPT yang mempunyai jumlah murid terbanyak di Indonesia. Para orang tua yang bertanya mengenai informasi pendaftaran bisa dikatakan rata-rata mampu secara finasial (dilihat dari penampilannya). Datang ke sekolah mengendarai motor dengan harga di atas rata-rata. Si ibu mengenakan perhiasan bak toko emas berjalan. Mereka hanya berbekal surat keterangan tidak mampu dari pejabat lingkungan untuk diterima di SMPT melalui TKB yang ada di wilayahnya.”Wah ibunya secantik dan serapi ini kok anaknya didaftarin ke terbuka sih, Bu?” Mereka menjawab “Saya mah ngontrak, Bu di Jakarta. Bapaknya juga tidak punya pekerjaan tetap.” Sebagian orang tua ini hanya melihat kalau anaknya bisa diterima di SMPT bisa sekolah gratis, dan banyak bantuan yang diterima. Selain KJP mereka juga mendapat BLT tanpa mempertimbangkan hasil belajar anak yang bersangkutan.
Karena mereka lebih banyak belajar di TKB, kualitas belajarnya pun tidak bisa disamakan dengan anak regular. Apalagi jika guru yang mengajar di TKB jumlahnya terbatas. Satu atau dua guru pamong harus mengampu beberapa mata pelajaran. Meskipun mereka belajar menggunakan modul, tapi tingkat penguasaannya pada mata pelajaran bisa dikatakan jauh standar ketuntasan.
Anak-anak yang kesehariannya memang tidak mempunyai kendala dalam belajar (tidak membantu orang tua) bahkan lokasi sekolah di sekitar rumah ini, akibatnya banyak menghabiskan waktu dengan bermain dan bersenang-senang. Tanpa memikirkan apa yang mereka dapat dari bangku sekolah. Akibatnya bisa dikatakan anak-anak ini lebih banyak yang jauh dari kematangan dalam hal ilmu pengetahuan dan keagamaan sehingga mudah terpancing pada hal-hal yang bersifat negatif.
Pihak sekolah tidak bisa berbuat banyak dalam hal ini. Di satu sisi sekolah tidak bisa menolak jika ada warga sekitar datang dengan berbekal surat tidak mampu untuk mendaftar di SMPT, di sisi lain orang tua juga hanya menitipkan anak-anak mereka agar mendapatkan ijazah, gratis, bahkan dapat bantuan ini-itu lagi. Atas usaha keras pihak sekolah dengan melakukan survey saat PSB, jumlah penerimaan siswa yang tadinya sampai 6 rombel menjadi 4 rombel dengan masing-masing robel sekitar 40-42 siswa.
Jika hal ini berkelanjutan, mau dibawa ke mana arah pendidikan di negeri ini. Program yang memang diselenggarakan untuk mengentaskan pendidikan dasar ini justru dimanfaatkan oleh orang-orang yang salah mengartikan. Akhirnya pendidikan bukan lagi mengentaskan kebodohan, justru melahirkan generasi yang tidak mampu, rapuh, dan pasrah. Dari sekian anak yang tercatat sebagai siswa SMPT bisa dikatakan hanya 30-40%-nya saja yang mempunyai motivasi belajar tinggi dan berprestasi. Selebihnya hanya bermalas-malasan. Mereka hanya menginginkan ijazah, bukan pengetahuan untuk memperbaiki kehidupan.
Semoga pemerintah bisa merevisi keberadaan SMPT ini. Dengan adanya pendidikan gratis, semoga anak-anak ini bisa diregulerkan. Kalau bisa ditutup kenapa dibiarkan terbuka? Kasian anak-anak kita, masuk angin! Jika memang keberadaan SMPT masih diperlukan perlu adanya aturan yang lebih tegas. Agar yang sekolah di situ memang orang-orang yang punya kendala untuk sekolah di regular. Ini Jakarta, fasilitas pendidikan lengkap, setiap sisi wilayah berdiri sekolah-sekolah pemerintah. Kenapa masih ada TKB yang menumpang di fasilitas sosial/umum. Anak-anak berhak mendapatkan layanan pendidikan yang layak dan para orang tua juga harus sadar mereka mempunyai kewajiban untuk memberikan pendidikan pada anak-anaknya. Dengan kemampuan akademis yang mumpuni mereka tidak hanya mendapatkan ijazah, mereka bisa mendapatkan pekerjaan yang layak dan dapat merubah kehidupan keluarga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H