Lihat ke Halaman Asli

Sri Mulyani Masuk Kabinet, Jokowi Takluk Pada Lobby-Lobby Neolib

Diperbarui: 4 Juli 2015   00:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Beberapa hari lalu, belasan ekonom menghadap Presiden Jokowi di Istana Negara untuk diminta masukan tentang persoalan ekonomi. Sebagian dari mereka dikenal luas sebagai para pemuja pasar spekulatif, makanya tidak aneh kemudian mencuat nama Sri Mulyani untuk disodorkan kepada Jokowi sebagai calon menko ke depan.

Sri Mulyani sendiri selain dikenal sebagai garda terdepan pemikiran neoliberal di Indonesia, juga bermasalah integritasnya karena diduga kuat terlibat dalam berbagai skandal seperti Skandal Century dan Skandal Pajak Grup Ramayana pimpinan Paulus Tumewu.

Pasar spekulatif berbeda dari pasar riil. Pasar spekulatif adalah gelanggangnya para spekulan, identik dengan pasar keuangan dunia yang berpusat di AS. Kebebasan (liberalisasi) yang berlebihan di sektor keuangan pada era 1980-an, berbarengan bangkitnya rezim neoliberalisme di AS, telah menyebabkan ketimpangan pendapatan di kalangan penduduknya sendiri.

Menurut data yang dipublikasikan oleh ekonom asal Perancis, Thomas Piketty, porsi pendapatan untuk desil teratas penduduk AS meningkat drastis dari 35% (0,35) di akhir tahun 1970an menjadi 50% (0,5) di tahun 2010. Bukan kebetulan pula pada penghujung rezim pasar spekulatif ini terjadi pula krisis keuangan di AS tahun 2008 yang dampaknya menyebar ke seluruh dunia dan masih terasa hingga kini.

Pada era Sri Mulyani bercokol di kabinet tahun 2005 hingga 2010 selaku menteri keuangan dan kemudian pelaksana tugas menko perekonomian, ketimpangan pendapatan pada penduduk Indonesia juga terus memburuk yang ditandai dengan meningkatnya indeks gini dari 0,32 (2004) ke 0,37 (2010).

Pada periode ini pula Sri Mulyani pernah menerbitkan surat utang di pasar keuangan dengan tingkat bunga 1-1,5% di atas tingkat bunga yang ditetapkan Thailand, Filipina dan Vietnam. Akibat kebijakan yang pro pasar spekulatif ini, Bangsa Indonesia merugi miliaran dolar, sedangkan orang-orang kaya yang bermain di pasar uang untung besar.

Bukan pro pasar spekulatif lah seharusnya orientasi kebijakan perekonomian, tapi haruslah pro rakyat dan sesuai dengan semangat Trisakti. Kebijakan yang pro rakyat adalah yang memperbaiki ketimpangan pendapatan antara masyarakat, bukan malah semakin memperkaya yang sudah kaya dan mempermiskin yang sudah dan hampir miskin. Sedangkan kebijakan yang sesuai semangat Trisakti adalah yang menguntungkan Bangsa Indonesia, bukan menguntungkan para spekulan di pasar keuangan dunia.

Keduanya, pro rakyat dan Trisakti, tidak akan ada dalam orientasi kebijakan tim ekonomi Jokowi bila Sri Mulyani menjadi menko perekonomian, sudah dapat kami pastikan. Dan untuk selamanya Jokowi akan dikenang sebagai Presiden Indonesia ke sekian yang takluk pada lobby-lobby kelompok neoliberal.**

 

 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline