Lihat ke Halaman Asli

Stevan Manihuruk

TERVERIFIKASI

ASN

Inspirasi Petani (Muda) Santiago, Menggali Makna Regenerasi Petani

Diperbarui: 19 Mei 2019   23:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi (Kompas/A Ponco Anggoro)

Regenerasi petani. Pasangan kata ini bisa disebut sebagai salah satu persoalan besar yang sedang dihadapi berkaitan dengan masa depan pertanian kita. Ya, masa depan pertanian sedang terancam karena diduga semakin sedikit orang yang mau sungguh-sungguh meneruskan profesi di bidang ini yaitu sebagai petani.

Bahasa lebih sederhana menyebutkan, Indonesia sedang mengalami krisis petani muda. Beberapa data menunjukkan bahwa mayoritas lahan pertanian kita dikelola oleh petani yang memang sudah berusia lanjut menurut kemampuan dan pengalaman yang mereka miliki.

Hasil survei LIPI menunjukkan hampir tidak ada anak petani yang ingin menjadi petani. Survei menyebutkan, hanya sekitar 4 % pemuda usia 15-35 tahun yang berminat menjadi petani. Sementara itu, dari total jumlah petani yang ada, sekitar 65 % sudah berusia di atas 45 tahun.

Kebanyakan generasi muda (bahkan anak petani sekalipun) kelihatannya memang tak terlalu tertarik untuk meneruskan profesi sebagai petani. Pekerjaan sebagai petani dianggap kurang memiliki masa depan terutama karena minimnya penghasilan. Petani juga identik dengan pekerjaan yang menguras keringat dan melelahkan karena harus mencangkul di sawah, di bawah sengatan terik matahari. Padahal, lagi-lagi hasilnya pun tak seberapa.

Sejalan dengan itu, kebanyakan orangtua yang berprofesi sebagai petani pun seolah tak rela anaknya hanya sekadar melanjutkan profesi sebagai petani. Mereka justru mendambakan anak-anaknya bekerja di sektor lain yang dianggap lebih keren dan terhormat. Mereka lebih ingin anak-anaknya bekerja di kantoran, berpakaian rapi, dan memiliki penghasilan yang rutin setiap bulannya.

Motivasi para orangtua menyekolahkan anaknya hingga tingkat yang tinggi pun ternyata didasari keinginan supaya anak-anaknya kelak punya kesempatan lebih baik untuk tidak bekerja sebagai petani. Ironis? Mungkin. Tetapi ini yang banyak terjadi.

Tentu tidak salah bila orangtua mendambakan/merencanakan kehidupan masa depan yang lebih baik untuk anak-anaknya. Menjadi masalah ketika profesi sebagai petani seakan-akan sudah distigma sebagai pekerjaan yang patut dihindari. Seolah-olah mereka yang sudah berpendidikan tinggi, tidak layak lagi berkecimpung di sektor pertanian.

Pada sisi yang lain, jangan pula diklaim bahwa penurunan jumlah petani merupakan sebuah kemajuan. Logika sederhananya, bila jumlah petani semakin hari semakin sedikit bahkan terancam "punah", lalu siapa yang akan mengelola sektor pertanian kita? Bagaimana nasibnya? Bahan pangan hasil pertanian yang sehari-hari kita konsumsi dan butuhkan, siapa yang akan menyediakan?

Petani muda Santiago 

Bicara soal regenerasi petani, saya jadi teringat pengalaman sekitar empat tahun lalu saat berkunjung ke Santiago. Oh ya, Santiago dimaksud bukanlah ibukota Chile, salah satu negara di Amerika Selatan. Yang saya maksud adalah salah satu nagari/desa terpencil di kabupaten Solok, provinsi Sumatera Barat yaitu Sariak Alahan Tigo. Kebanyakan penduduk setempat memilih menyingkat nama desanya dengan sebutan Santiago. Selain lebih singkat juga agar terdengar "go internasional", katanya.

Waktu itu, kunjungan saya bersama teman-teman dalam rangka memonitoring kegiatan bantuan penanaman bibit kayu-kayuan/MPTS yang dilaksanakan salah satu kelompok tani. Saya agak kaget karena ternyata kelompok tani tersebut beranggotakan anak-anak muda yang berumur di kisaran 20-30 an tahun. Mereka memiliki dan mengelola lahan sendiri yang diwariskan oleh orangtua masing-masing.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline