Pada setiap penyelenggaraan pemilu, entah di tingkat pusat maupun daerah, fenomena dan jumlah golput selalu menjadi sorotan. Bila jumlahnya besar apalagi sampai mengalahkan jumlah suara pemenang, pemilu seolah-seolah dianggap tidak sukses atau bahkan penyelenggara langsung dinilai tidak becus menjalankan tugas.
Mendekati pemilu serentak yang akan digelar April mendatang, fenomena golput kembali menjadi topik perbincangan yang hangat. Pro dan kontra di ruang publik menanggapi aksi sekelompok orang yang secara terang-terangan mengikrarkan diri akan golput di pemilu nanti.
Kecemasan meningkatnya jumlah golput selalu menjadi permasalahan. Sekali lagi, ada anggapan bahwa bila golput meningkat apalagi dianggap sangat besar jumlahnya, seolah-olah hasil pemilu menjadi kurang legitimasinya. Pihak penyelenggara pun bisa dianggap gagal mencegah peningkatan jumlah golput.
Namun, benarkah demikian? Saya kira, fenomena golput semestinya tak selalu harus dianggap sebagai masalah apalagi sampai memunculkan ejekan, ancaman dan sebagainya. Itu semua tak perlu terjadi bila kita sudah memiliki data yang valid dan terinci khusus mengenai fenomena ini.
Maksudnya, data jumlah golput dalam setiap penyelenggaraan pemilu semestinya tak sekadar dicatat secara global. Harus dibuat pengkategorian yang memuat alasan yang bersangkutan menjadi golput. Setelah data ini terkumpul, baru kita bisa menarik kesimpulan.
Secara sederhana, alasan pemilih golput bisa dikategorikan menjadi tiga bagian: apatis, teknis, dan (kita sebut saja) ideologis. Apatis, berarti mereka tidak menggunakan hak pilihnya karena menganggap itu tidak terlalu penting dan hanya buang-buang waktu. Kurangnya informasi dan sosialisasi yang mereka dapatkan mungkin bisa juga menjadi salah satu penyebabnya.
Alasan teknis, mereka yang golput karena ternyata nama mereka tidak terdaftar dan terdata sebagai calon pemilih atau kurangnya kertas suara saat hari "H". Kendala kelengkapan administrasi menjadi penghalang bagi mereka untuk menggunakan hak pilihnya.
Alasan ideologis, mereka yang sebenarnya memiliki hak pilih dan sudah terdata sebagai calon pemilih namun sengaja menjadi golput karena merasa calon yang akan dipilih nanti tak ada yang dianggap bisa membawa harapan.
Secara sadar, mereka menjadi golput karena sudah terlanjur kecewa dengan pemimpin yang telah dipilih sebelumnya, sekaligus tak percaya pada satu pun calon yang akan maju nanti.
Untuk golput dengan alasan apatis dan teknis, tentu kita masih bisa menuding pemerintah dan penyelenggara sebagai pihak yang harus dipersalahkan.
Agak mengagetkan bila ternyata nanti masih banyak pemilih yang tak bisa memilih gara-gara lemahnya pengadministrasian kependudukan atau karena kurangnya kertas suara.