Lihat ke Halaman Asli

Stevan Manihuruk

TERVERIFIKASI

ASN

Dilema ASN yang Ingin Mengungkap Korupsi

Diperbarui: 16 November 2018   11:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ILUSTRASI: KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Bila Anda seorang ASN dan mengetahui pimpinan Anda telah melakukan penyimpangan yang terindikasi mengarah pada tindakan korupsi, apa yang akan Anda lakukan? Berani melaporkan atau hanya memilih mendiamkan?

Dilema hebat tentu berkecamuk dalam pikiran. Masing-masing pilihan tentu ada akibatnya. Memilih mendiamkan mungkin menjadi pilihan paling aman, setidak-tidaknya karena kita tidak ikut melakukan.

Meskipun pilihan itu sebenarnya sama saja dengan mendiamkan kejahatan. Dengan kata lain, kita pun sedang terlibat melakukannya karena tidak bertindak apa-apa meskipun kejahatan itu terjadi di depan mata. Mendiamkannya pun berarti kita sedang menutupi sekaligus memadamkan mata hati dan nurani sendiri.

Sementara bila ingin melaporkan, tentu lebih banyak konsekuensi yang mungkin akan dihadapi. Pada siapa itu harus dilaporkan? Bagaimana bila yang dilaporkan justru berhasil berkelit dan bahkan menyerang balik? Siapkah menghadapi risiko ancaman fisik, administrasi, dikucilkan dari pergaulan, bahkan risiko karier yang terancam?

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) melihat Aparatur Sipil Negara (ASN) sebenarnya sangat potensial dalam upaya memberantas tindak pidana korupsi, terutama terkait pengungkapan kasus. 

Ilustrasi (Kompas.com)

Hal ini dikarenakan para ASN berada dalam lingkaran birokrasi pemerintahan, sehingga jika ada penyimpangan yang mengarah kepada tindakan korupsi mereka bisa mengetahuinya dan berperan dalam memberikan keterangan dalam proses peradilan baik sebagai saksi, Justice CollaboRator, maupun Whistleblower. Namun potensi tersebut ternyata tidak sebanding dengan keamanan karier mereka.

"Karena selain ancaman fisik, mereka seringkali mendapatkan ancaman berupa ancaman administrasi terkait karier mereka", ujar Ketua LPSK, Abdul Haris Semendawai di Jakarta (10/10).

Dari data yang ada, LPSK telah dan sedang menangani terlindung yang berstatus ASN dan perkaranya terkait dengan instansinya sebanyak 55 orang. Dari jumlah tersebut terdiri dari 38 orang berstatus sebagai Whistleblower, 5 orang berstatus Justice Collaborator, dan 22 orang sebagai saksi.

Dari jumlah tersebut ancaman yang diterima berupa perlakuan diskriminatif, mutasi, hingga pemberhentian. Pada beberapa kasus LPSK mendampingi pula ASN yang diberhentikan untuk mengajukan banding ke Badan Pertimbangan Kepegawaian (BAPEK). Beberapa di antaranya berhasil dipulihkan status kepegawaiannya.     

Bila mau jujur, 55 orang ASN di atas sebenarnya tentu masih terlalu sedikit bila dibandingkan jumlah instansi/kantor pemerintahan yang ada. Bukan hendak menyimpulkan bahwa seluruh instansi birokrasi sudah pasti korup. Tidak begitu.

Namun sekali lagi, saya meyakini masih banyak ASN yang memilih posisi paling aman yaitu diam, meskipun ia melihat, mendengar dan menyadari sebenarnya ada bahkan mungkin banyak ketidakberesan yang terjadi di instansi tempat ia bekerja.

Salah satu contoh nyata dan sering dijadikan ajang "bancakan" dalam birokrasi pemerintahan adalah terkait proses pengadaan barang dan jasa pemerintah. Ini sudah terkonfirmasi dari data dan laporan lembaga antirasuah yang menyebutkan banyak praktik kejahatan yang dilakukan aparat birokrasi di sektor ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline