Seorang anggota legislatif kota Mataram berinisial HM, terkena operasi tangkap tangan (OTT) oleh Kejaksaan Negeri kota Mataram, Nusa Tenggara Barat. HM ditangkap bersama dengan Kepala Dinas Pendidikan berinisial SD dan seorang kontraktor berinisial CT.
Adapun kasus yang menjerat tiga orang tersebut adalah dugaan pemerasan dana rehabilitasi gempa bumi untuk gedung SD dan SMP. HM yang merupakan Ketua Komisi IV DPRD Kota Mataram sudah ditetapkan sebagai tersangka. Sementara yang lain masih berstatus sebagai terperiksa, saksi.
Peneliti Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Almas Sjafrina meminta Kejaksaan Negeri Mataram, Nusa Tenggara Barat, menindak tegas kasus dugaan korupsi anggota DPRD kota Mataram meski barang bukti yang ditemukan "hanya" Rp 30 juta.
Almas mengatakan, anggota DPRD Mataram tersebut bisa dijerat dengan hukuman maksimal lantaran uang yang dimintanya adalah uang untuk dana bencana.
"Kalau ditanya apakah mungkin hukuman sangat berat mungkin saja, karena di Undang-Undang tipikor (Tindak Pidana Korupsi) sendiri apalagi itu konteksnya untuk dana bencana ancaman hukumannya bisa maksimal," ujar Almas.
Argumentasi Almas memang jelas tercantum di dalam Undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Ancaman hukuman maksimal (hukuman mati) tercantum khususnya di dalam pasal 2 UU Tipikor yang bunyinya sebagai berikut,
Ayat 1
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000.00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Ayat 2
Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan.
Pada penjelasan pasal di UU tersebut dikatakan, klausul 'keadaan tertentu' dalam pasal 2 ayat (2) ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.