Konsep idealnya, ajang pemilihan calon pemimpin baik di tingkat daerah hingga pusat selalu disebut sebagai pesta demokrasi. Biasanya sebagai orang yang akan terlibat dalam sebuah pesta, suasana hati kita diliputi sukacita dan kegembiraan menantikan datangnya momen tersebut. Ditambah lagi, kita adalah "tamu penting" dalam hajatan tersebut.
Namun sayangnya, itu tak kita rasakan kala memasuki tahun politik saat ini (2018 dan 2019) dimana perayaan pesta demokrasi itu akan digelar. Sebaliknya, suasana hati kita barangkali justru was-was, kuatir, bahkan mungkin ketakutan.
Demi menyaksikan segala kegaduhan yang terjadi belakangan ini dan hampir seluruhnya bermuatan politis, wajar saja timbul perasaan demikian. Setiap hari, perdebatan, pro-kontra, saling klaim, saling sindir, saling hujat berseliweran di dunia maya. Masing-masing berebut menjadi "penguasa" opini publik dan ujung-ujungnya untuk mempromosikan kandidat yang didukungnya.
Andaikan masing-masing mampu menunjukkan kedewasaan sikap untuk berdebat secara sehat, tentu tak masalah dan bahkan baik untuk membangun kecerdasan publik. Persoalannya, kebanyakan debat saat ini sudah sangat tidak sehat karena fakta/data diabaikan bahkan jika perlu dipelintir sedemikian rupa. Kala itu dirasa masih belum mencukupi, keluarlah segala macam hujatan, caci maki, hingga intimidasi.
Yang lebih mengkhawatirkan lagi, identitas SARA semakin sering dijadikan bahan untuk memengaruhi pilihan politik masyarakat. Sudah banyak yang coba mengingatkan bahwa cara-cara seperti itu sangat berbahaya karena bukan hanya merusak kualitas demokrasi kita bahkan bisa mengancam persatuan bangsa.
Politisi
Pada kondisi yang serba gaduh saat ini, para politisi tak mungkin bisa berkelit apalagi mencoba lepas tangan dan menuding pihak lain yang harus bertanggungjawab. Sepandai apapun mereka merangkai kata-kata janji dan mimpi tentang kemajuan bangsa, publik takkan mudah percaya. Itu semua sia-sia karena bayang-bayang perpecahan bangsa saat ini, sedikit banyaknya karena ulang mereka jua.
Para politisi terlalu asyik dengan akrobat-akrobat politiknya sehingga abai terhadap dampak bahaya yang sudah tersaji di depan mata. Segala macam cara dihalalkan hanya demi mencapai tujuan.
Terlampau sering kegaduhan yang terjadi di ranah publik bersumber dari pernyataan-pernyataan politisi yang bertendensi kuat sekadar untuk menyerang lawan politiknya. Semakin sulit menemukan figur politisi yang bersikap sebagai negarawan yang bisa menebar perdamaian dan persatuan.
Lebih memprihatinkan, demi meraih simpati publik, mereka gemar melontarkan isu-isu sensitif ke publik yang kebanyakan bersumber dari data/informasi yang tak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Saban hari ruang publik dicekoki dengan isu-isu yang terkesan dibuat-buat misalnya kebangkitan komunis, kriminalisasi ulama, penistaan agama, LGBT dan sebagainya. Beberapa politisi sudah tak merasa malu lagi meski sudah dicap sebagai penyebar informasi hoax.