Bertepatan dengan momen perayaan hari kasih sayang tahun ini, ruang publik ramai oleh fenomena "pelakor". Istilah yang sebenarnya merujuk pada istilah "orang ketiga" ini kian tenar oleh beberapa kejadian yang viral di media sosial.
Beragam ulasan, komentar dan argumen langsung bermunculan. Satu hal yang pasti, bahwa kasus "orang ketiga" yang menjadi ancaman dalam hubungan keluarga sebenarnya bukan muncul baru-baru ini saja melainkan sudah ada bahkan sejak dulu. Perkembangan teknologi informasi saat inilah yang membuatnya cepat tersebar kemana-mana yang membuat heboh dan ramai.
Potensi hadirnya "orang ketiga" khususnya dalam suatu hubungan suami-isteri merupakan fakta yang nyata meskipun itu tentunya masih bisa dicegah. Ia bisa hadir dan menjadi ancaman nyata bagi keharmonisan hubungan keluarga hanya pada kondisi kita yang sering tidak waspada dan lengah, komunikasi dengan pasangan semakin payah, tempat paling nyaman bukan di rumah, serta kehangatan kasih sayang sudah banyak berubah.
Bukan hanya fenomena pelakor, ternyata kemajuan teknologi yaitu penggunaan ponsel secara tak terkendali pun bisa mengganggu kasih sayang dan kehangatan keluarga. Begitu banyak momen-momen kehangatan keluarga yang terlewatkan karena masing-masing asyik dengan aktivitas di media sosial. Raga bisa saja berada pada ruang waktu dan tempat yang sama, namun jiwa dan fikirannya masing-masing justru berkelana di dunia maya.
Apa dan siapa yang salah?. Haruskah menyalahkan ponsel dan kemajuan teknologi, sementara ketidakmampuan kita mengendalikan dirilah yang jadi sumber masalah?. Atau menghina bahkan menghukum para pelakor alias orang ketiga, sementara terkadang justru kita yang tanpa sadar mengundang dan membuka pintu masuk bagi kehadirannya?.
Diciptakan bukan ditunggu
Tiada cara lain untuk menyelamatkan hubungan dalam keluarga selain komitmen dan upaya bersama-sama untuk menciptakan keceriaan kehangatan keluarga setiap harinya. Everyday is Valentine Day. Setiap hari adalah hari kasih sayang.
Saat menuliskan ini, saya merenungkan dan akhirnya tiba pada kesimpulan bahwa keceriaan kehangatan keluarga ternyata sesuatu hal yang perlu terus diusahakan dan diciptakan bukan ditunggu. Ia tidak akan hadir begitu saja sementara kita tak berupaya menghadirkannya.
Banyak cara bisa dilakukan. Itu bisa berbeda-beda bentuknya pada masing-masing pasangan, sesuai kebutuhan, kegemaran dan mungkin kebiasaan. Tidak ada model yang benar-benar baku.
Saya dan istri misalnya. Kami bisa merayakan keceriaan kehangatan secara bersama-sama misalnya dari kebiasaan makan siang bersama hampir setiap hari di rumah, walaupun akhirnya saya harus pulang-pergi dari kantor yang jaraknya lumayan jauh. Ia juga merasa senang, meski harus repot setiap hari memasak di dapur. Kami juga punya kebiasaan menghabiskan waktu di sore hari dengan menyantap cemilan hasil olahan istri.
Di hari libur kantor (Sabtu atau Minggu), ada kalanya kami juga sepakat untuk makan di luar. Pada momen-momen itu, biasanya kami sambil bercerita tentang banyak hal. Mulai dari urusan kantor, keluarga yang jauh, teman, pelayanan dan sebagainya.