Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya memutuskan "agama" penghayat kepercayaan harus masuk dalam catatan administrasi kependudukan. Putusan ini diambil dalam sidang uji materi UU No. 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (adminduk) yang diajukan beberapa orang perwakilan warga penghayat kepercayaan.
Selama ini, kolom agama pada Kartu Tanda Penduduk Elektronik (e-KTP) hanya mencantumkan enam agama resmi yang diakui pemerintah, yaitu Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Sesuai Pasal 64 ayat (2) UU Adminduk disebutkan: Keterangan agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan".
Pada praktiknya, istilah "tidak diisi" itu sering dimaknai dengan tanda strip bukan dikosongkan. Akibat kolom agama yang kosong tersebut, penganut aliran kepercayaan sering mendapatkan diskriminasi. Hasil penelitian Wahid Foundation, mereka biasanya mendapat perlakuan diskriminatif dalam pekerjaan dan pencatatan pernikahan.
Arief Hidayat, Ketua MK saat membacakan amar putusan yang mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya, mengatakan bahwa kata "agama" dalam Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) Undang-Undang Administrasi Kependudukan tidak mempunyai kekuatan hukum tetap sepanjang tidak dimaknai termasuk "kepercayaan". Hal serupa juga berlaku untuk Pasal 61 ayat (2) dan Pasal 64 ayat (5) yang dinilai MK tak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Pasal 61 ayat (1) Undang-Undang Administrasi Kependudukan secara jelas mengatur tentang informasi apa saja yang terdapat di dalam KK, yaitu: kolom nomor KK, nama lengkap kepala keluarga dan anggota keluarga, NIK, jenis kelamin, alamat, tempat lahir, tanggal lahir, agama, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, status hubungan dalam keluarga, kewarganegaraan, dokumen imigrasi, dan nama orang tua.
Sementara itu, Pasal 64 ayat (1) mengatur tentang informasi yang mestinya tercantum dalam KTP, yaitu: gambar lambang Garuda Pancasila dan peta wilayah negara Republik Indonesia, memuat keterangan tentang NIK, nama, tempat tanggal lahir, laki-laki atau perempuan, agama, status perkawinan, golongan darah, alamat, pekerjaan, kewarganegaraan, pas foto, masa berlaku, tempat dan tanggal dikeluarkan KTP, tandatangan pemegang KTP, serta memuat nama dan nomor induk pegawai pejabat yang menandatanganinya.
Putusan MK ini menurut saya merupakan langkah maju untuk mereduksi bahkan menghentikan praktik diskriminasi yang dialami para penghayat kepercayaan. Sebagai catatan, dalam data yang dicatat Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata tahun 2003, ada 245 aliran kepercayaan yang terdaftar dengan jumlah penganut mencapai 400 ribu jiwa lebih.
Mereka adalah warga negara Indonesia yang sudah seharusnya mendapatkan hak yang sama dengan warga lainnya. Mereka adalah saudara-saudara kita, maka jangan pernah membiarkan mereka terus-menerus menjadi korban praktik diskriminasi hanya gara-gara memiliki keyakinan yang berbeda.
Pemerintah harus merespon putusan ini dengan segera merevisi beberapa pasal dalam UU Adminduk yang memang bernuansa "diskriminasi". Kedepan, istilah "agama resmi" atau "agama yang diakui" semestinya sudah harus ditinggalkan. Peran negara adalah mengakui, menghargai bahkan melindungi apapun pilihan agama/kepercayaan yang dianut masyarakatnya.
Akhirnya, revisi UU Adminduk harus mampu menegaskan bahwa segala bentuk perbedaan termasuk pilihan kepercayaan adalah fakta keberagaman yang harus bisa kita terima. Sejak awal Indonesia dibangun diatas berbagai keberagaman yang menjadi kekayaan kita. Dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika, meski berbeda-beda, namun kita semua bisa hidup rukun berdampingan untuk mencapai tujuan yang sama.
Jambi, 7 November 2017