Lihat ke Halaman Asli

Stevan Manihuruk

TERVERIFIKASI

ASN

Kabinet Pembangunan Bersinergi dan Berkelanjutan

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

“Sejak dulu, hutan sudah lestari. Tetapi kalau masyarakat masih hidup susah, mereka akan merusak hutan. Maka, sejahterakan dulu masyarakatnya, baru hutan bisa lestari”. Demikian pernyataan Aljupri, ketua Lembaga Pengelola Hutan Desa Lubuk Beringin, kabupaten Bungo, provinsi Jambi yang merupakan hutan desa pertama di Indonesia saat menjadi narasumber pada acara Lokakarya Hutan Desa lingkup DAS Batanghari di Jambi baru-baru ini. Adapun visi Kementerian Kehutanan (Kemenhut) saat ini adalah “Hutan Lestari, Masyarakat Sejahtera Yang Berkeadilan”.

Rasanya tidak perlu mempersoalkan manakah yang terlebih dahulu harus dilakukan; melestarikan hutan atau mensejahterakan masyarakat?. Yang paling penting untuk dijawab bagaimana caranya agar masyarakat bisa sejahtera dan pada saat yang sama, hutan tetap terjaga/lestari.

Konsitusi kita jelas mengamanatkan bahwa salah satu tugas penting negara (pemerintah) adalah memajukan kesejahteraan umum yang berarti seluruh masyarakat Indonesia. Selanjutnya, Pasal 33 UUD 1945 lebih menegaskan lagi bahwa “Bumi, air, dan kekayaan alam lainnya (termasuk hutan) dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”.

Kita coba uraikan data dan faktanya. Dua pertiga daratan Indonesia atau setara dengan 131,28 juta hektar merupakan kawasan hutan yang menyimpan kekayaan alam yang sungguh luar biasa. Lalu, ada sekitar 30.000 desa yang terletak di dalam dan sekitar kawasan hutan. Artinya, jika rata-rata satu desa berpenduduk 1.000 jiwa, maka ada sekitar 30 juta jiwa. Fakta selanjutnya, bahwa laju degradasi dan deforestasi hutan di Indonesia termasuk yang tercepat di dunia. Guinness Book of World Record pernah mencatatnya. Senada dengan data yang dikeluarkan Greanpeace bahwa pada periode 2004-2009, setiap tahunnya, luasan kawasan hutan kita berkurang rata-rata seluas 2,31 juta hektar akibat pembalakan liar dan alih fungsi hutan.

Ironisnya pada saat yang sama, tingkat kesejahteraan masyarakat desa yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan hutan justru rendah. Diperkirakan sekitar 10,2 juta jiwa yang masuk dalam kategori miskin. Kesimpulannya, hanya segelintir orang/korporasi (termasuk asing) yang bisa mendominasi pemanfaatan hutan. Masyarakat lokal hanya menjadi penonton dan mengalami dampak buruknya mulai dari semakin sedikitnya hasil hutan yang bisa diambil, tercemarnya sumber air dan lingkungan, terusiknya keberadaan masyarakat adat/lokal dan dampak-dampak lainnya.

Rusaknya hutan dan kondisi ketidakadilan inilah yang kemudian memicu terjadinya konflik-konflik yang terjadi antara masyarakat setempat/lokal dengan pendatang, masyarakat dengan satwa, masyarakat dengan pemerintah, dan masyarakat dengan perusahaan.

Pembangunan Bersinergi, Berkelanjutan

Mengapa bisa terjadi, hutan semakin rusak namun masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan hutan tetap jauh dari kesejahteraaan?. Persoalan utamanya tentu saja adalah ketidakpedulian juga ketidakpaduan pihak-pihak terkait. Jika berbicara apalagi ada masalah yang berhubungan dengan “hutan”, hanya “orang kehutanan” lah yang bertanggungjawab. Padahal, hutan memiliki keterkaitan erat dengan sektor-sektor lain, misalnya perkebunan, perikanan, peternakan, pariwisata, lingkungan hidup, pertanian, ekonomi kreatif, bahkan tambang.

Bukankah yang terjadi selama ini menunjukkan ketidakpaduan lintas sektor yang ada?. Atas nama pembangunan dan meningkatkan pendapatan; kawasan hutan digunduli untuk membuat jalan, dikonversi menjadi lahan perkebunan atau pertanian, dirusak demi eksplorasi tambang, dan masih banyak contoh lainnya.

Jika saya menjadi Presiden Republik Indonesia, langkah awal yang saya lakukan adalah menyusun kabinet yang memilki visi Pembangunan Bersinergi dan Berkelanjutan. Untuk ini, tentu saja saya akan memilih orang-orang yang berkompeten sekaligus berkomitmen untuk melaksanakannya. Sektor-sektor yang memiliki keterkaitan langsung seperti uraian diatas harus dipadukan. Alternatif pertamanya bisa dengan menggabungkan dua atau lebih sektor yang saling berkaitan; misalnya menggabungkan pertanian dengan kehutanan atau kehutanan dengan perkebunan. Atau alternatif kedua adalah mengangkat seorang Menteri Koordinator Pelestarian Hutan dan Lingkungan.

Program-program yang ada di satu Kementerian dengan Kementerian lainnya harus saling mendukung dan bersinergi. Sebagai contoh misalnya program Perhutanan Sosial atau Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Kemitraan) yang saat ini menjadi salah satu prioritas kebijakan Kementerian Kehutanan. Capaian pelaksanaannya hingga kini terbukti sangat lambat. Kendalanya tidak hanya soal prosedural yang rumit dan panjang, tapi juga soal dampak/manfaat yang bisa diperoleh oleh masyarakat.

Di provinsi Jambi misalnya, sudah ada 25 Desa yang memperoleh SK Penetapan Areal Kerja Hutan Desa dari Menteri Kehutanan. Namun jika bicara manfaat yang bisa mereka dapatkan sebagai pengelola hutan desa, masih menjadi pertanyaan besar. Kendalanya klasik; kemampuan teknis dan juga dana. Diantara desa-desa tersebut sudah ada yang menyusun rencana kerja/program yang ingin dilaksanakan demi meningkatkan pendapatan masyarakat desa, namun lagi-lagi terkendala keterbatasan yang ada.

Inilah yang saya katakan tadi sebagai bukti ketidakpaduan lintas sektor yang ada. Rencana kerja mereka tidak diketahui oleh sektor-sektor terkait, atau justru sektor-sektor tersebut lebih tertarik mengalokasikan kegiatannya pada desa yang lain. Maka saat lembaga pengelola hutan desa misalnya ingin memanfaatkan hasil hutan non kayu misalnya rotan atau bambu harus berbenturan dengan masalah ketiadaan alat juga keterampilan. Lalu ditambah lagi masalah akses modal dan pemasaran.

Warga Hutan Desa Lubuk Beringin tadi misalnya, mereka masih terus bermimpi untuk terus mengembangkan potensi ekowisata yang ada di desa tersebut. Tentu saja tujuannya untuk meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat desa. Potensi melimpah air yang jernih dan bersih di desa tersebut pun mereka angan-angankan bisa dikelola menjadi bisnis air kemasan lokal. Kondisi-kondisi serupa juga dialami oleh desa-desa yang lain. Memiliki potensi, tetapi sulit memanfaatkan atau mengembangkan karena kendala-kendala yang dihadapi.

Maka, inilah yang menjadi komitmen saya jika menjadi Presiden Republik Indonesia. Pembangunan harus terus dilakukan secara bersinergi oleh semua sektor terkait termasuk pemerintah daerah. Pembangunan ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat harus seiring sejalan dengan pelestarian lingkungan. Ego sektoral antar Kementerian harus dihilangkan. Sebaliknya, kerjasama dan sinergisme harus lebih ditingkatkan (lagi-lagi) demi kesejahteraan masyarakat.

Jambi, 15 Maret 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline