Lihat ke Halaman Asli

Seru, Pertarungan Logika di MK

Diperbarui: 18 Juni 2015   03:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

SERU, kata yang cocok untuk menggambarka pertarungan logika dalam gugatan hasil Pilpres di MK. Pasca penarikan diri Prbowo dari rekapitulasi penghitungan suara di KPU 22 Juli 2014, kita sudah disuguhi perdebatan-perdebatan yang menolong kita untuk berfikir secara terbuka. Sebagai manusia pembelajar, menyimak logika berfikir dari dua kubu yang berseteru sangat mengasyikkan.

Kubu Jokowi mengatakan, penarikan diri dari Pilpres memberi implikasi tidak ada legal standing untuk mengajukan gugatan ke MK. Menanggapi argumen tersebut, kubu Prabowo menjawab, Capres-Cawapres yang ditetapkan oleh KPU tidak sah karena salah satu Capres-Cawapres menarik diri dari Pilpres. Untuk menjadi pemenang harus lebih dari satu kontestan. Pendapat lain dikemukan oleh pengamat politik yang mengatakan logika yang kedua perlu diluruskan. Jika logika kedua diterima, berarti setiap kontestan pemilu, misalnya pilkada, jika mengetahui dirinya 'hampir' kalah dalam penghitungan suara lalu mengundurkan diri, maka tidak akan pernah ada pimpinan daerah yang akan terpilih. Ini logika yang tidak bisa diterima dengan akal.

Dua kubu memiliki partai atau mesin penggerak sampai ke akar rumput. Di samping itu, masing-masing kubu juga mempunyai saksi yang ada di TPS. Apakah mungkin saksi salah satu kubu memilih kubu lawannya? Tampaknya tidak mungkin. Dengan realita yang demikia, kesimpulan yang bisa ditarik adalah  mustahil kalau perolehan suara salah satu kubu 'nol' alias tidak ada yang memilih. Situasi ini dihadapi oleh masing-masing kubu di beberapa TPS.

Terkait dengan pembukaan kotak suara, salah satu kubu menyatakan keberatan dan melaporkan KPU ke kepolisian karena melanggar kode etik. Logika yang dipakai KPU untuk membuka surat suara adalah adanya materi gugatan yang diajukan ke MK. Untuk menjawab gugatan tersebut, tentu diperlukan alat bukti. Satu-satunya alat bukti yang bisa dipakai adalah kertas yang ada di kotak suara.

Untu perolehan suara, kubu Prabowo mengklaim bahwa kubunyalah yang menang dengan menampilkan rekapitulasi tingkat propinsi tanpa ada data di tingkat di bawahnya, dari Kab/Kota-Kecamatan-Kelurahan/Desa-TPS. Data rekapituasi dibuat oleh kubunya sendiri dengan mekanisme penghitungan yang tidak transparan. Kubu termohon (KPU) mempunyai data yang sah yang telah terkonfirmasi oleh lembaga yang melakukan quick count.

Mobilisasi pemilih di TPS dianggap merugikan salah satu kubu. Dengan pemilu yang luber, dan apa yang dicoblos oleh pemilih tidak diketahui,  maka tidak bisa dikatakan bahwa mobilisasi pemilih merugikan salah satu kubu. Dua kubu mempunyai kesempatan yang sama untuk dipilih.

Kubu Prabowo mengajukan permohonan kepada MK untuk melakukan Pilpres ulang. Di sisi yang lain kubu Prabowo juga mengajukan permohonan  untuk mendiskualifikasi Jokowi-Jk. Apakah mungkin melakukan pemilu ulang tetapi salah satu kontestan didiskualifikasi atau tidak boleh ikut pemilu? Sebuah pendapat yang kontradiktif dalam satu dokumen permohonan.

Kita akan lihat pagi ini sampai malam nanti, logika-logika yang pasti seru. Logika itu akan dipertarungkan satu dengan yang lain. Mari kita simak dan nikmati bersama-sama.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline