Lihat ke Halaman Asli

Kurikulum 2013 dan Revolusi Mental

Diperbarui: 17 Juni 2015   23:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

KURIKULUM tahun 2013 telah mulai diterapkan di sekolah. Sebuah kurikulum yang menurut pakar pendidikan seperti Prof. Arif Rahman, sangat holitik dan sejalan dengan revolusi mental yang digagas oleh Jokowi. Kurikulum ini konon kabarnya membuat anak lebih aktif dan guru bertugas sebagai mediator dan fasilitator untuk proses belajar anak. Dengan demikian, tumbuh kembang anak dari semua sisi kehidupannya akan berjalan secara berimbang. Memang diperlukan waktu dan  alat yang tepat untuk mengukur keberhasilan K13.

Dalam beberapa kesempatan, saya memanfaatkan waktu untuk menemani dan mengobservasi anak saya belajar K13 ini. Saya belum melihat perbedaan yang mencolok, kecuali dalam hal mencatat. Sewaktu anak saya duduk di kelas 4 SD, catatan di dalam bukunya berlembar-lembar.  Sementara di kelas 5 ini, saya hanya menemukan sedikit catatan dari hasil belajar di sekolah. Saya mengkonfirmasi ke beberapa teman-temannya dan memang mereka mengatakan hal yang sama. Tidak banyak mencatat di kelas.

Mendorong adanya kreatifitas dan inovasi yang lebih dari anak adalah salah satu dari berbagai keunggulan K13 ini. Hal tersebut pernah disampaikan oleh Wamendikbud, Musliar Kasim. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka mempraktekkan adalah jalan yang ditempuh untuk memahami sebuah realita yang ada di mana realita tersebut sangat mudah ditemuai di tengah-tengah kehidupan keseharian anak. Dengan mempratekkan sesuatu, anak diharapkan dapat melihat, berfikir yang kemudian diaktualisasikan dalam bentuk tindakan. Hasil tindakan tersebut kemudian diamati dan dilihat di mana letak dan duduk keberhasilan dan kegagalan dari sebuah tindakan yang dilakukan.

Dalam konteks kehidupan sosial,  kurikulum kehidupanpun harus dibuat dengan standar moral yang jelas.   Meskipun bekerja sebagai penjaga warung, tidak ingin anak saya tumbuh menjadi anak yang liar. Saya selalu mengingatkan anak saya dengan mengajukan berbagai pertanyaan untuk didiskuskan. Misalnya,  sebagai makluk ciptaan Tuhan yang mulia, apakah pantas berbuat curang di sekolah, curang saat bermain, berbohong pada orang tua dlsb. Sebgai mahkluk yang diberi akal dan otak untuk berfikir, apakah pantas jika menjadi orang yang malas, tidak peduli dengan sekitarnya dlsb.

Keberhasilan kurikulum bisa dilihat dari hasil belajar anak pada saat ulangan dan ujian. Kurikulum kehidupan bisa dilihat setiap saat pada perilaku anak. Bagaimana dia bertindak dan merespon setiap persoalan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Kurikulum di sekolah memakai standar yang jelas yang ditetapkan oleh Pemerintah. Kurikulum kehidupan memakai standar moralitas yang jelas juga yang dituliskan dalam Kebenaran yang digumuli setiap hari dan setiap saat.

K13 hanya sebatas kurikulum yang membuat anak menjadi pandai, kreatif dan inovatif, tetapi tidak membantu anak untuk bergeser dari kecenderungan untuk berdusta dan mementingkan diri sendiri ketika tumbuh dewasa. Akan tetapi, kurikulum dalam kehidupan sehari-hari yang dimulai di rumah adalah kunci keberhasilan kehidupan anak di kemudian hari. Sayangnya, tidak sedikit orang tua rela meninggalkan anak diasuh oleh orang lain demi karir dan harga diri sehingga lupa memberikan dan mengajarkan kehidupan yang sesungguhnya kepada anak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline