Lihat ke Halaman Asli

Merekonstruksi Persaudaraan antar Keyakinan

Diperbarui: 24 September 2015   21:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hidup di tengah pluralisme keyakinan, untuk kaum mayoritas, seperti saya bukanlah suatu tantangan yang berarti. Karena setiap lini kehidupan dalam berkeyakinan yang saya lalui masih banyak pendukungnya. Apalagi, dari kecil saya dibesarkan di lingkungan santri. Saya hidup di pesantren selepas lulus dari Sekolah Dasar. Selama enam tahun di Pesantren, yang saya rasakan adalah keberlimpahan dukungan keyakinan dari lingkungan dan golongan saya. Hal itu menjadi salah satu kebanggaan saya sebagai seorang muslim.

Kebanggaan saya sebagai kaum mayoritas semakin bertambah saat negeri ini dipimpin oleh Bapak pluralisme, Gus Dur. Pada saat itu saya masih duduk di Sekolah Dasar. Pada Bulan Ramadhan, sekolah-sekolah diliburkan dan dianjurkan untuk nyantri Pondok Posoan[1]. Saya pun sempat mendaftar pada saat itu. Namun tidak bertahan lama, lima hari di pesantren saya minta untuk pulang, walaupun di Pesantren itu ada kakak saya sebagai santri tetap. Karena dirasa sangat berat dengan kehidupan yang cepat berganti dari yang semula pekerjaan rumah digantungkan pada Ibu, kemudian semua harus dikerjakan sendiri. Kebiasaan menangis di malam hari sangatlah biasa bagi santri baru.

Sewaktu saya nyantri saat Madrasah Aliyah, saya mulai mengenal keyakinan golongan minoritas di daerah saya. Pada saat itu saya terlibat dalam sebuah penelitian kompetitif bersama dua orang teman saya. Kebetulan yang menjadi objek penelitian kami waktu itu adalah Klenteng Tjoe Hwie Kiong di kota Kediri. Dan penelitian ini berlanjut saat saya berada di Malang sekarang, di klenteng En Ang Kiong. Saya banyak mempelajari makna wayang potehi sebagai seni tradisional Tionghoa. Sembari mempelajari itu saya pun mmpelajari nasionalisme bangsa Tionghoa khususnya kaum Konghuchu. Orang Tionghoa saat ini yang sudah menetap di Indonesia adalah peranakan Indonesia asli, hanya saja mereka dari etnis Tionghoa. Jika dipertanyakan bagaimana jiwa nasionalisme mereka, bisa jadi melebihi kami sebagai keturuna Jawa orang Indonesia asli.

Sebagai kaum Konghucu dari etnis Tionghoa, mereka menahbiskan Gus Dur sebagai Bapak Tionghoa Indonesia[2]. Gus Dur lah yang telah mencabut Instruksi presiden (Inpres) no 14 tahun 1967 masa Orde baru tentang pelarangan melaksanakan ibadah yang berbau leluhur (Cina) secara mencolok, tetapi hanya diperbolehkan dilaksanakan secara intern dilingkungan sendiri (di Klenteng saja) dengan Keputusan Presiden (Kepres) no 6 tahun 2000 tentang memberikan kebebasan melakukan ibadah dan adat istiadatnya karena kegiatan agama, kepercayaan dan adat istiadat merupakan bagian tidak terpisahkan dari hak asasi manusia.

Sama seperti kaum Tionghoa mengakui Gus Dur sebagai Bapak Tionghoa Indonesia. Saya pun juga mengakui beliau sebagai Bapak dari NU yang selama ini saya berada di dalamnya. NU bagi saya bukan suatu kefanatikan, namun sebuah kenyamanan dan kebangaan berada di dalamnya. Gus Dur yang adalah cucu dari K.H. Kasyim Asy’ari juga memiliki garis keturunan dari etnis Tionghoa dari marga Tan[3].

Atas dasar hal itu kami sebagai umat muslim adalah bersaudara dengan etnis Tionghoa yang ada di indonesia karena kami mempunyai Bapak panutan yang sama, yaitu Gus Dur. Hendaknya alasan ini bukanlah satu-satunya mempererat tali persaudaraan kita. Namun lebih dalam lagi, untuk saling mendukung segala apa yang dicita-citakan untuk Indonesia raya. Karena jiwa nasionalisme kita adalah sama. Berjuang untuk tanah air tercinta.

 

 

Sumber rujukan:

Ibad, MN dan Fikri AF, Ahmad. 2012. Bapak Tionghoa Indonesia. Yogyakarta: LKIS.

 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline