Lihat ke Halaman Asli

Muslim yang Terabaikan di Indonesia Timur

Diperbarui: 26 Juni 2015   00:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

http://majelisrasulullah.org/images/zoom/TDQXLO/manokwari_070.jpg

Muslim Yang Terabaikan di Indonesia Timur

Indonesia merupakan negara islam terbesar di dunia, ada sekitar 85,2% atau 199.959.285 jiwa dari total 234.693.997 jiwa penduduk yang menganut agama islam. Agama Islam begitu makmur di negara ini, terutama di ibukota Jakarta. Namun kemakmuran muslimin di ibukota tak sebanding dengan keadaan muslimin di wilayah Indonesia bagian timur, yaitu Irian Barat.

Sejak berabad-abad lalu, Islam telah masuk ke wilayah tersebut yang dibawa oleh para ulama-ulama terdahulu dari Hadhramaut, Yaman. Namun, nama dan prosesi peribadatan islam saat ini kian memudar di Irian Barat. Muslimin disana tak mengenal shalat 5 waktu, tak tahu rukun islam, tidak mengerti masalah-masalah yang berkaitan dengan syariat islam. Bahkan Masjid pun sangat jarang.

Informasi tersebut didukung pula dengan laporan dakwah dari seorang ulama, Habib Munzir, pimpinan Majelis Rasulullah yang beberapa bulan lalu melakukan kunjungan dakwah disana. Habib mengatakan muslim disana tak terlalu tahu agama islam, mereka sudah tidak kenal syahadat, mereka hanya mengenal satu ajaran adat, yaitu tak boleh makan babi, padahal babi adalah santapan yang masyhur di Irian, mereka menganggap itu hukum adat.

Menurut salah seorang tokoh di wilayah tersebut,islam sudah ada di Bintuni pada abad 16 Masehi, kemudian hilang dan tak tercatatkan dalam sejarah. Akan tetapi ada beberapa wilayah yang diberi nama menggunakan bahasa Arab, yaitu wilayah yang dipakai untuk menuju Bintuni dinamakan wilayah Babo. Nama tersebut dimaksudkan adalah Baabussalam, yang artinya pintu keselamatan. Karena pendatang di masa lalu harus melalui wilayah tersebut untuk masuk ke Bintuni.

Selain itu, kepala suku menunjukkan kotak pusaka yang telah disimpan ratusan tahun yang diberikan oleh datuk-datuk mereka. Ternyata isi dari kotak tersebut adalah kitabullah, Al-qur’anulkarim. Mereka sejak berabad-abad telah muslim, namun karena mungkin tiada dai-dai pengganti , sehingga islam pun hilang dan tak lagi dikenali. Hingga tinggallah pusaka tersebut.

Salah satu keluh kesah masyarakat disana diceritakan secara gamblang oleh Habib Munzir,"Dimana dai-dai muslimin dari Jakarta?, dimana para hartawan dari Jakarta?, mereka hanya mau teriak teriak di televisi, dan sebagian dari kami tak ada listrik, jikapun wilayah yang sudah ada listrik belum tentu punya televisi, lalu darimana kami akan mengenal dan belajar islam?, kami hanya dengar dari teman teman yang punya televisi, bahwa para hartawan di Jakarta selalu mengirimkan dana uang banyak ke Palestina, Bosnia, Afghanistan. Bagaimana mereka memberi bantuan kesana dan melupakan kami, kami muslimin yang sebangsa dengan mereka, kami masyarakat Papua menerima republik Indonesia karena kami tahu Republik Indonesia adalah Muslimin. Namun setelah kami jadi saudara mereka, kami dikucilkan dan ditinggalkan. Mereka jauh-jauh mengirim uang banyak ke luar negeri dan kami disini susah dan tak mampu membangun musholla.

Perlu kita ketahui, jarak yang begitu jauh dari Ibu kota Negara ini adalah faktor utama jarangnya seorang ulama datang ketempat tersebut. Selain itu, tantangan lainnya adalah sulitnya sarana transportasi untuk menjangkau ke daerah-daerah pelosok (pedalaman) dan juga jarang adanya aliran listrik sehingga menghambat penyebaran dakwah.

Sebaiknya, para ulama, hartawan, maupun pemerintah lebih memperhatikan nasib mereka yang berada jauh di Irian Barat. Karena bagaimanapun juga, mereka merupakan saudara sebangsa kita. Sehingga, lebih berhak mendapatkan perlakuan yang bijaksana.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline