Bulan Ramadhan telah memasuki hari ke 22. Itu artinya, sebentar lagi saya akan dapat Tunjangan Hari Raya Keagamaan (THR) dan mudik. Tentunya saya senang sekaligus harap-harap cemas. Senang karena selain THR bisa dipakai untuk keperluan hari raya dan liburan atau mudik, juga bisa memberi sedikit sangu untuk keluarga saya di kampung. Sementara, harap-harap cemasnya kalau THR telat diberikan. Bisa kacau rencana mudik dan liburan saya.
Selain itu, saya mempekerjakan satu orang Pekerja Rumah Tangga (PRT) di rumah saya. Tugasnya bersih-bersih dan cuci gosok sesuai kesepakatan kerja. Sebagai majikan, saya pastinya sudah siap memberikan THR kepada PRT saya. Bersyukur selama ini saya lancar memberikan gaji maupun THR kepada PRT di rumah saya. Karena saya tahu bagaimana pusingnya saya mengatur keperluan hidup kalau saya telat digaji atau telat diberi THR. Ya, sama juga dengan PRT. Kalau kita telat atau menunda gaji atau THR, pasti PRT juga pusing. Lha wong sama-sama manusia, sama-sama punya keluarga dan sama-sama pekerja kok.
Namun, tidak semua majikan yang tahu bahwa dalam memberikan THR kepada PRT ada aturannya. Ada juga yang sudah tahu, tapi pura-pura tidak tahu. Pernah saya menemui PRT di daerah Kranji, Bekasi, yang hanya diberi THR sebesar Rp 100.000. Padahal PRT tersebut sudah lebih dari 2 tahun bekerja paruh waktu dengan gaji Rp 400.000 sebulan. Ada juga nih, teman saya yang memberi THR kepada PRTnya secara suka-suka. “Suka-suka gue lah mau ngasih THR berapa. Sini yang punya duit kok situ yang ribet?” Upsssss
Pernah juga saya mendapati teman saya memberi THR kepada PRT nya sebesar 1 bulan gaji, padahal PRT nya baru 4 bulan bekerja di rumah teman saya. Saya sempat menanyakan alasannya kepada teman saya. Teman saya menjawab bahwa THR itu amal seperti sedekah. Semakin banyak kita memberi maka semakin banyak pula pahala yang kita dapatkan. Sejuk hati ini mendengarnya. Semoga saja bertambah banyak majikan seperti ini. Amin
Pertanyaan untuk majikan: apakah THR itu derma atau kewajiban? Mari kita lihat bersama
Aturan tentang THR
Tunjangan Hari Raya Keagamaan adalah pendapatan diluar upah yang wajib dibayarkan oleh Pengusaha kepada Pekerja/Buruh dan Keluarganya menjelang Hari Raya Keagaman. THR Keagamaan (THR) diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) No 6 Tahun 2016 dan Permenaker No. 2 tahun 2015. Kedua aturan ini sudah sangat jelas mengatur bahwa THR wajib diberikan oleh majikan kepada PRT.
Meskipun dalam Permenaker No. 6 Tahun 2016 tidak menyebut kata ‘majikan’ akan tetapi posisi majikan adalah sama dengan pengusaha, yaitu sebagai pemberi kerja. Hal inipun telah ditegaskan sebelumnya dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 2 Tahun 2015 Tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga Pasa 1 Poin 3 yaitu pengguna PRT (majikan) adalah orang perseorangan yang mempekerjakan PRT dengan membayar upah dan/atau imbalan dalam bentuk lain. Lalu pada pasal 11 tentang kewajiban pengguna/majikan, tertulis salah satu kewajibannya adalah memberikan Tunjangan Hari Raya sekali dalam setahun.
PRT adalah pekerja yang dibayar atau menerima gaji oleh karenanya berhak atas THR. Permenaker No 6 Tahun 2016 pasal 3 ayat 3 menyatakan bahwa pekerja/buruh yang bekerja berdasarkan perjanjian kerja harian lepas namun mendapatkan gaji perbulan, wajib mendapatkan THR. Dalam Permenaker No 2 Tahun 2015 pasal 1 juga telah menjelaskan bahwa PRT adalah orang yang bekerja pada orang perseorangan dalam rumah tangga untuk melaksanakan pekerjaan kerumahtanggaan dengan menerima upah dan/atau imbalan dalam bentuk lain. Dan pada pasal 7 jelas tertulis Hak PRT adalah mendapatkan Tunjangan Hari Raya.
Cara Menghitung THR
Berlakunya Permenaker No. 6 Tahun 2016 ini secara otomatis membuat peraturan sebelumnya yaitu Permenaker No. 4 Tahun 1994 menjadi tidak berlaku lagi. Kalau sebelumnya dalam Permenaker No 4 Tahun 1994 pekerja berhak menerima THR setelah bekerja 3 bulan berturut-turut, maka sekarang dalam Permenaker No. 6 Tahun 2016 ini pekerja dengan masa kerja 1 bulan sudah berhak mendapatkan THR.