Lihat ke Halaman Asli

Itu Langit, Belum Neraka

Diperbarui: 25 Januari 2022   23:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Di Utara iblis coba hanguskan pelangi,
di Tenggara segerombol lagi bersepakat mengoyak-ngoyak matahari,
hampir seribu pagi

Sepenjuru mata angin berlomba mengobrak-abrik segala dengan gasing-gasing bertaringnya.

memporak-porandakan waktu
meluluh-lantakkan empedu
dan sejuta pasang cahaya yang leleh dari mata dan nyaris genangi tanah-tanah kuburan

Pori Bumi nyaris tuntas dihiasi liang-liang lahat,
nyaris dikerubungi lidah-lidah api neraka
kota-kota nyaris mengibar kavan ke sepenjuru ufuk

Di langit, para dewa putus asa dan hampir ketok palu,
hampir sepakat hentikan nadi waktu
hampir sudahi gema firman dan ayat-ayat Tuhan.
Hampir buru-buru menutup tirai senja-Nya, masih dengan keranda


Sisa bayang-bayang pun bersujud membujuk sisa-sisa malaikat yang kelelahan di persimpangan jalan, di ruang-ruang sempit

Sisa bayang-bayang dari sisa-sisa kiamat, masih ingin memompa matahari, menyalakan pagi beberapa ribu kali lagi
masih belum rela menutup senyuman

Seluruh,
masih ingin menunggu kedatangan tuhan yang kedua kalinya.

Sebab Itu masih langit, meski pahit, tapi belum neraka.

Bukan.

Hujung pandemi. Pangkal 2022




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline