Semenjak perubahan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, Delapan belas tahun pasca berhembusnya kebijakan Otonomi Daerah dalam Sistem Pemerintahan Republik Indonesia yang ditetaskan melalui Undang-undang Pemerintah Daerah Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana telah diamandemen Undang-undang Nomor 12
Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah, hingga kini terasa sudah mencipta warna tersendiri perubahan cuaca pemerintahan di seluruh daerah, baik provinsi dan atau juga kabupaten/kota sepenjuru negeri.
Peraturan pemerintahan daerah yang merupakan buah besar dari aspirasi pemangku kepentingan daerah kala itu bahkan telah nyata-nyata menciptakan situasi politik yang sangat signifikan menyusul penetapan aturan baru pemilihan kepala daerah mandiri yang pelaksanaannya dilimpahkan murni secara langsung kepada pemerintah daerah tanpa lagi ada intervensi dari pemerintah pusat.
Delapan belas tahun, selama itu jugalah hiruk-pikuk "lezat-pahitnya" imbas pelaksanaan otonomi daerah itu telah tampil memeriahkan atau juga terlanjur menghantui berbagai sendi elemen pada proses pelaksanaan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan daerah otonom itu.
Pemerintah daerah otonom sebagai dalang utama pelaksana sah kebijakan otonomi itu sendiri, secara periodik telah silih berganti menjalankan fungsi dan peran kekuasaannya lewat berbagai jargon politis dan visi-misi pemerintahan terpilih pada setiap rezimnya.
Telah sejak lama, hampir seluruh kalangan di negeri ini semenjak diberlakukannya sistem otonomi daerah telah dan masih menggantungkan harapan besar tentang dampak positif dan buah matang dari pohon otonomi daerah yang menurut sebagian pemerhati telah membawa keberhasilan yang cukup nyata dalam berbagai bidang kemajuan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan.
Tidak dipungkiri, menyangkut kemajuan berbagai bidang, baik demokrasi, pemanfaatan potensi unggulan daerah, maupun partisipasi masyarakat sebagai wujud langsung dari otonomi itu, oleh berbagai pihak baik dari para ahli, pemerhati dan pengamat di negeri ini maupun dari pihak internasional bahkan banyak yang sependapat bahwa otonomi daerah sejauh ini sudah berhasil dan secara langsung berlaku efektif dalam memajukan daerah.
Sebagaimana prinsip daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya, dalam arti, daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintah yang ditetapkan dalam undang-undang ini, daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peranserta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyatnya.
Guna mendukung penyelenggaraan otonomi daerah, diperlukan otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab di daerah secara proporsional dan berkeadilan yang jauh dari praktik-praktik korupsi, kolusi, nepotisme serta adanya perimbangan antara keuangan pemerintah pusat dan daerah. Yang kesemuanya kewenangan itu tentunya harus dipayungi dan dipagari oleh aturan dan turunan peraturan berjenjang yang mesti diterapkan dan dipatuhi.
Tanpa bermaksud untuk menepis atau menyangkal keberhasilan-keberhasilan besar dari proses pelaksanaan otonomi daerah karya perjuangan pemikir-pemikir negeri ini, dan tanpa bermaksud masuk terlalu dalam mencereweti aspek-aspek kebijakan otonomi oleh para Para Pemerintahan sah pada masing-masing periodisasi pesta demokrasi lima tahunan itu, namun ada setopik penting dan genting menyangkut penerapan kebijakan penataan pemerintahan yang mendesak perlu dikritisi dan dikaji kembali.
Penting dan genting, sebab ikhwak meresahkan itu bahkan telah tercipta dan terkondisikan sedemikian rupa menggerogoti tiang utama birokrasi di negeri ini.
"Bagai api dalam sekam, susah dipadamkan dan sangat menghancurkan."