Lihat ke Halaman Asli

Cermin Kurawa bagi kehidupan

Diperbarui: 26 Juni 2015   04:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sebagai pemerhati wayang, siapapun paham kenapa kurawa selalu diidentikkan dengan tingkah polah jahat, brutal ,licik, kejam dan pendendam, sebaliknya Pandawa selalu diidentikan dengan baik, sopan santun, ramah dan baik budi pekertinya. Meskipun demikian, dari seratus kurawa itu ada beberapa yang memiliki karakter kesatria misalnya Duryudana adalah seorang kakak bagi kurawa yang mencintai adik-adiknya, ia pun berani berkorban nyawa demi saudara-saudaranya itu. Citraksa dan Citraksi menyimpan sifat yang sopan santun, Yuyutsu sering mengkritik perlakuan buruk terhadap Pandawa yang dilakukan oleh saudara-saudaranya, Durmuka dan Drestaketi rela meninggalkan istana karena alasan moralitas.

Karakter buruk yang selalu diidentikkan terhadap kurawa, tentu bukan wahyu dari sang pencipta yang tidak ada penyebabnya. Karena Dia pun tiada memberikan kebaikan dan keburukan tanpa ada sebab-musababnya.
Awal cerita, Destarastra sebagai anak sulung sangat kecewa terhadap keputusan Abiyasa (bapaknya), karena tahta kerajaan diserahkan kepada Pandu (adiknya). Keputusan Abiyasa karena melihat kondisi Destarastra memiliki cacat fisik, buta selain itu juga kurus dan lemah. Sementara Pandu adalah sosok yang tampan, gagah, cerdas dan sakti mandraguna. Dilihat dari masa depan kerajaan Hastina(pura), kebijakan Abiyasa melihat masa depan Hastinapura secara jauh ke depan, namun sebaliknya dilihat dari silsilah keturunan tentu mengecewakan Destarastra, sebagai putra sulung mahkota kerajaan Hastinapura, semestinya ialah yang berhak menjadi raja Hastinapura menggantikan ayahnya yang memilih mendekatkan kepadaNya.

Tak lama kemudian Destarastra memutuskan untuk hijrah bersama bayi-bayinya menuju padepokan bekas Begawan Palasra di Gajahoya, kemungkinan besar alasan malu atau Destarastra sudah tak tahan lagi berada di Hastinapura. Di tempat pengasingan itu Destarastra dan Dewi Gendari membesarkan seratus bayi yang terdiri dari 99 bayi laki-laki dan 1 bayi perempuan. Duryudana adalah anak sulung dan Dursilawati adalah satu-satunya anak perempuan. Mereka dibesarkan dalam kondisi yang kurang bersahabat, tanpa kasih sayang dari kedua orang tuanya dan lingkungan yang tak pernah mengajarkan tatakrama. Destarastra sebagai seorang ayah hanya menghabiskan hidupnya dengan melamun dan termenung, kurang peduli terhadap pertumbuhan anak-anaknya. Sementara Dewi Gendari hanya bersolek sesuka hatinya, ia pun tanpa peduli terhadap anak-anaknya termasuk putri satu-satunya, Dursilawati, yang membutuhkan belaian kasih sayang ibunya di tengah-tengah saudaranya yang semua laki-laki.

Di tengah-tengah lingkungan yang serba bebas tak terkendali para Kurawa tinggal. Mereka ketika menginjak dewasa menjadi orang yang kurang beretika, bertindak semaunya, suka menggoda perempuan dan mencuri barang milik orang lain. Satu-satunya yang bisa mengendalikan kebringasan mereka (Kurawa) adalah Duryudana. Ia sebagai kakak bagi kurawa yang masih disegani oleh saudara-saudaranya itu.

Oleh karena itu, sifat buruk yang dimiliki Kurawa tak datang begitu saja dari langit, akan tetapi dipengaruhi lingkungan dan pergaulan mereka. Seandainya Pandawa mengalami seperti apa yang terjadi pada Kurawa, tidak menutup kemungkinan mereka bisa berpotensi lebih brutal daripada kurawa.

Kurawa mencerminkan kita?
Apa yang terjadi dalam dunia wayang, terjadi juga dalam dunia nyata, karena kisah wayang tidak sekedar tontonan namun juga sebagai tuntunan. Ibaratnya ,”kalau kita sering bergaul dengan tukang minyak maka kita pun jadi kebagian wanginya, sebaliknya kalau kita sering bergaul dengan para koruptor maka kita pun akan distempel buruk”.

Banyak sekali yang terjadi di negeri ini, berapa banyak orang baik-baik yang secara terpaksa mengikuti sistem yang mengharuskannya bertindak tidak sesuai dengan kata hati nurani. Karena terbiasa akhirnya sudah mendarah daging pada dirinya. Banyak orang mengatakan korupsi di Indonesia sudah melembaga, sistemik dan mendarah daging. Lingkaran itu sudah terbangun dari awal berdirinya negeri ini bahkan sebelum merdeka. Apakah kita mau mengikuti atau dengan alasan terpaksa mengamini tradisi korupsi yang jelas-jelas bertentangan dengan hati nurani ini?

Kita masih ingat betul terhadap seorang ibu yang mengadukan pencotekan berjamaah di sebuah sekolah dasar di Surabaya. Niatnya ingin menegakkan kejujuran, namun disambut dengan caci maki masyarakat bahkan mengisolasikan dari lingkungannya. Sungguh ironiskan? Tradisi yang menggerogoti negeri ini justru dipertahankan dan dibela mati-matian tanpa ada sedikitpun koreksi. Tidak berlebihan ketika saya mengidentikkan di negeri ini banyak para kurawa yang tidak mengamini apabila negeri ini bersih dari tindakan-tindakan yang tak terpuji.

Negeri ini begitu banyak dihuni oleh orang-orang yang maunya pintar tapi tidak mau belajar, kaya tapi tidak mau bekerja, dan ingin maju tapi selalu melangkah mundur. Banyak mimpi-mimpi setinggi langi tercipta tapi tidak ada tindakan yang mengarahkan ke mimpi-mimpi tersebut. Sebagaimana Kurawa, ingin disegani tapi tak pernah menghormati orang lain, ingin negerinya makmur tapi sering menjarah uang rakyat dan lain sebagainya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline