Lihat ke Halaman Asli

Rosiana Febriyanti

Ibu rumah tangga dan guru

Jembatan Pensil, Mengajarkan Arti Solidaritas dan Ketulusan Hati

Diperbarui: 9 Mei 2020   04:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Film. Sumber ilustrasi: PEXELS/Martin Lopez


Film Jembatan Pensil adalah salah satu film favorit saya selain Laskar Pelangi. Jembatan Pensil meramu kisah persahabatan anak-anak sekolah dasar. Sekolah yang didirikan oleh seorang guru penuh dedikasi itu memang digratiskan untuk anak-anak kampung nelayan. 

Persahabatan Inal yang tunanetra dan Ondeng yang memiliki keterbelakang mental benar-benar menyentuh. Anak-anak SD itu tidak menyerah setiap hari ke sekolah meskipun harus menyebarangi sungai yang deras dengan jembatan yang rusak parah. Buku dan tas kerap hanyut apabila tidak berhati-hati.

Ondeng memiliki cita-cita hendak membangun jembatan dengan pensilnya. Sayang, pensil yang dimililikinya. Adegan yang paling membuat saya patah hati adalah saat ayah Ondeng hilang ditelan ombak. Deg! Bagaimana nasib Ondeng selanjutnya kini diserahkan kepada tetangganya yang baik hati. 

Hadirnya seorang guru baru sepertinya hanya tempelan yang memberi sisi romantisme guru baru yang belum mengetahui kondisi nyata yang akan dihadapinya. Ternyata, anak-anak sekolah dasar itulah yang menjadi guru kehidupan yang sebenarnya. Pendidikan guru di bangku kuliah terasa belum ada apa-apanya dibandingkan pengalaman batin yang diresapi anak-anak SD itu. Mereka begitu menjaga solidaritas antarteman dan juga memiliki ketulusan tanpa batas. Salut untuk guru-guru yang mengajar di daerah yang serba kekurangan. 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline