Lihat ke Halaman Asli

Rosiana Febriyanti

Ibu rumah tangga dan guru

Cerpen | Terlambat

Diperbarui: 25 Januari 2020   04:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok. Pribadi

Saat masuk ke rumahnya yang sepetak, isinya minim barang-barang, bidan desa duduk tertegun di lantai, matanya tertuju pada sosok bayi di hadapannya. 

Seorang nenek memangku bayi kurus dengan mata celong, perutnya kempis, tulang iganya menonjol keluar, tatapan kosong, dan kelopak matanya jarang mengedip. Bayi berusia 12 bulan itu tadinya lincah merangkak ke sana ke mari, tetapi sudah sebulan ini tak pernah menangis atau bereaksi apa pun. Sudah seminggu terakhir tidak dapat menelan ASI.

"Kenapa tidak dibawa ke puskesmas? Punya BPJS ga, Nek?" tanya bidan desa geregetan.

"Salah saya, tidak membolehkan cucu saya diimunisasi, cuma ke orang pintar aja. Ngurus BPJS katanya perlu KK, sedangkan ngurusnya di sini mahal, jadi bikin KK di kulon. Yah, susah juga ga punya BPJS. Adanya KIS. Mau ke dokter juga ga ada uang," jawab sang nenek. Sementara ibu muda di sampingnya cuma bisa duduk pasrah.

Bidan desa panik, langsung menelepon dokter puskesmas minta disiapkan ambulans untuk ke rumah sakit besar. Baru sepuluh menit berlalu, tubuh bayi itu bergetar kejang. Bidan mengajak mereka ke posyandu untuk ditimbang. 

Ternyata beratnya hanya enam setengah kilogram. Dengan sigap bidan desa membonceng ibu dan bayi itu ke puskesmas terdekat. 

Keesokan harinya, di status WA ibu kader posyandu tertulis, bayi itu sudah meninggal, beberapa saat setelah sampai di IGD dan muntah darah.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline